Kamis, 11 Juni 2009

Sajak-Sajak Tengsoe Tjahjono

ADA YANG KUCARI

Ada yang kucari, tapi siapa
tapak kaki menjulur
di rerimbun tanpa alur

Mungkin damai
angin mengalir pagi hari
tapi tanpa cuaca
Adakah sajak mampu menulisnya

Ada yang kucari, tapi siapa
Ada suara menggumam tengah malam
membisikkan dingin penghujan

Mungkin belati
menusuk kening waktu
memuncratkan darah rindu!

LUPA JALAN PULANG

Andai lupa jalan pulang
kepada siapa mesti bertanya
sebab waktu slalu membungkusnya
oleh debu

Kalender pun kehilangan angka
sejarah memudar di keranda musium kota

Atau kita kumpulan kerikil
dari benih pejalan, menghitung jumlah tikungan,
persimpangan, tanda-tanda pohon, daunan,
etalase, baliho tepi jalan

Andai lupa jalan pulang
Cukupkah berdoa?

Rabu, 06 Mei 2009

NOVEL SEBAGAI WACANA

Oleh Tengsoe Tjahjono






1. Pengantar
Menurut Abrams (1981:119) novel merupakan ragam tulisan yang merupakan bagian dari prosa fiksi. Sebagai karya narasi novel dibedakan dengan cerita pendek dan dari karya yang menengah panjangnya yaitu novelet. Novel memberi peluang untuk hadirnya banyak tokoh, pertikaian dan alur yang kompleks, pengembangan lingkungan secara lebih luas, eksplorasi terhadap tokoh secara mendalam.
Istilah novel untuk sebagian besar bahasa-bahasa Eropa adalah roman yang berasal dari romance. Dalam bahasa Inggris istilah tersebut diambil dari bahasa Italia novella yang berarti ‘sebuah hal baru yang kecil’, sama halnya cerita pendek dalam fiksi. Pada abad ke-14 di Italia banyak koleksi roman yang besar, sebagian serius dan sebagian yang lain amat memalukan. Salah satu karya besar itu adalah Decameron karya Boccacio, yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sejak saat itu istilah novella atau dalam bahasa Jerman novelle selalu digunakan sejajar dengan novellete: prosa fiksi yang memiliki panjang menengah.
Sebagai karya sastra novel sekan-akan bertentangan dengan kebenaran dalam merekam pengalaman kemanusiaan, amat paradoksal. Memang karya sastra selalu mengambil bahan dari realitas pengalaman hidup sehari-hari. Tetapi, pengalaman hidup itu telah ditafsirkan pengarang. Griffith pun menyebutkan bahwa the total form of a work represents its interpretation (1982:14). Karya sastra merupakan sebuah dunia imajinasi. Dunia imajinasi itu lahir dari sebuah pandangan pengarang terhadap dunia.
Pandangan dunia yang diungkapkan ke dalam karya sastra itu bersifat subjektif. Pengarang akan mengungkapkan pandangan dunianya mengenai bagaimana dunia itu menurutnya. Masing-masing pengarang akan memiliki pandangan dunia yang berbeda atas peristiwa atau hal yang sama.
Novel merupakan ekspresi dari pribadi yang menulisnya. Kepribadian, perasaan, dan kepercayaan pengarang akan terlihat dalam karyanya. Meskipun pada suatu ketika pengarang dengan sengaja mengambil jarak dengan ciptaannya, tetapi bahwa karya merupakan hasil dialog personalnya dengan lingkungan tidak dapat diingkari. Sebagai dialog personal, pengarang sengaja atau tak sengaja telah mengkomunikasikan dirinya melalui teks novel yang dihasilkannya. Banyak pengarang memutuskan bahwa keterkaitan antara dirinya dengan persoalan yang mereka angkat merupakan hal yang tak terelakkan. Hal tersebut pada akhirnya justru melahirkan keunikan daya ungkap, keunikan karya.
Salah satu dampak sifat ekspresif karya sastra adalah manakala kita membaca karya sastra, yang ingin kita temukan justru pemikiran pengarang. Kita tertarik atau kita menemukan ‘sesuatu’ justru karena ‘kehadiran’ pengarang dalam karyanya. Bahkan kita membaca pula karya-karya lain dari pengarang yang bersangkutan untuk menemukan lebih banyak lagi pengalaman dari pengarang itu. Kita membaca karya Ahmad Tohari demi melihat pengalaman Ahmad Tohari, membaca karya Umar Kayam untuk mengetahui pengalaman Umar Kayam.
Boulton (1975) menjelaskan bahwa novel dalam menggambarkan hidup nyata berusaha sungguh untuk menampilkan kebenaran. Peristiwa atau hal dalam novel kita ketahui tidak terjadi, tetapi dibuat agar dirasakan seperti benar terjadi. Pengalaman hidup nyata tidaklah sama antara manusia satu dengan lainnya. Banyak orang membaca novel dengan maksud untuk mencocokkan kebenaran hidup yang dialaminya dengan pengalaman lain yang terdapat dalam novel. Pembaca akan memperoleh pengalaman baru yang akan memperkuat atau bisa jadi mengubah pandangannya mengenai hidup itu.
Pada umumnya novelis besar berkecenderungan untuk menyajikan pelbagai kebenaran mengenai gambaran kehidupan. Dalam hal tertentu ia tidak jauh berbeda dengan sejarahwan. Sejarahwan mencoba untuk menyusun koherensi, narasi yang bermakna mengenai sesuatu saat manusia tinggal dan hidup di situ. “Sesuatu” itu terlihat sangat hebat, penuh perubahan, berupa mata rantai tanpa putus, penuh laporan yang keliru, rangkaian peristiwa dunia yang membingungkan, berisi pelbagai emosi yang kontradiksi, kacau-balau, tidak logis, tak dapat dipahami secara utuh. Demikian pula, seorang novelis akan melakukan seleksi dan memakai pola tertentu untuk mencoba mendekati pergolakan yang kacau-balau atau letupan buram dari kehidupan manusia, dan mencoba menatanya dalam urutan sebab-akibat yang jelas.
Menurut Boulton (1975:28) tidak ada novel yang mampu memberikan kebenaran total seperti agama, filsafat, atau teori politik; tetapi novel yang baik selalu akan memberikan kepada pembaca beberapa pandangan atau sikap mengenai kebenaran secara fragmentaris. Sebuah novel besar akan menyajikan kompleksitas dan multi-impresi kehidupan dan problematikanya, mengkomunikasikan pelbagai wawasan, baik secara tersurat maupun tersirat.

2. Fakta dan Fiksi dalam Novel
Secara konvensional novel selalu didudukkan sebagai karya fiksi. Fiksi selalu dipertentangkan dengan fakta. Akibatnya novel diklaim sebagai karya yang jauh dari kebenaran, lebih-lebih bila dikaitkan dengan persoalan pemikiran, karena ia hanya merupakan rekaan. Pandangan semacam itu menurut Kleden hanya cocok untuk sementara disampaikan kepada siswa SD atau SMP. Secara lengkap Kleden menulis sebagai berikut.
Persoalan tentang fakta dan fiksi dalam kesusastraan dan ilmu sosial (atau dalam ilmu pengetahuan pada umumnya) rupanya tidak luput dari berbagai pandangan yang bahkan dalam dirinya sendiri sudah penuh dengan fakta dan fiksi itu sendiri. Menganggap bahwa dunia sastra adalah dunia yang fiktif, sedangkan dunia ilmu sosial misalnya adalah dunia yang menyajikan fakta, barangkali masih mempunyai kegunaan didaktis untuk memberikan penjelasan sementara kepada anak-anak SD dan SMP tentang apa itu kesusastraan, tetapi pastilah tidak banyak membantu tercapainya pengertian yang mendekati kenyataan tentang wujud dunia sastra itu sendiri (1998:5).

Menurut Subagio Sastrowardoyo (dalam Kleden, 1998:12) pemahaman bahwa sastra merupakan hasil khayalan berdampak buruk, baik bagi pengarang maupun bagi publik pembaca. Bagi pengarang, anggapan tentang khayal ini membuat mereka akan memandang sastra sebagai “hasil lamunan tentang alam yang berada di luar kehidupan nyata”. Bagi pembaca, anggapan tentang khayal itu membuat mereka menganggap “kesusastraan sebagai hiburan saja atau paling jauh sebagai hiasan hidup yang indah dan menarik tetapi tidak esensial, yang bisa dikesampingkan di tengah-tengah kesibukan sehari-hari yang sungguh-sungguh”. Sastra, menurut Subagio Sastrowardoyo, dibangun oleh imajinasi yaitu “daya tangkap batin yang secara intuitif memperoleh tanggapan atau visi yang benar tentang pengalaman dan kenyataan.”.
Sehubungan dengan istilah imajinasi seringkali terjadi salah kaprah dalam penggunaannya. Ia sering disamakan dengan ilusi, khayalan, dan fantasi. Menurut Tedjoworo (2001:22) fantasi lebih berkaitan dengan daya untuk membayangkan sesuatu, khususnya hal yang tidak real atau hal yang tidak mungkin terjadi. Fantasi sering disamakan dengan khayalan, sedangkan khayalan sering dipakai pula untuk menerjemahkan kata illusion. Padahal ilusi itu ialah “ide, keyakinan, atau kesan yang salah tentang sesuatu; persepsi atau konsepsi yang keliru tentang sesuatu”. Fantasi pada umumnya selalu dikaitkan dengan gambaran objek yang tidak mungkin, dan memang tidak ada dalam kenyataan, imajinasi dipahami sebagai daya yang menghasilkan gambaran objek yang mungkin (=dapat ada) atau logis. Imajinasi tidaklah bersangkutan dengan penggambaran objek yang membabi buta dan serabutan tentang suatu objek (yang statis atau dinamis) maupun konsep tertentu.
Sastra memang imajinatif. Imajinasi bukanlah fantasi, sebab imajinasi selalu bermula dari kenyataan dan menghasilkan sesuatu yang mungkin. Untuk memahami makna imajinasi secara lebih baik, Kleden merasa perlu untuk memahami lebih dahulu tiga istilah yang menjadi sumber pengertian dan salah pengertian mengenai kenyataan dan rekaan. Ketiga istilah itu ialah data, fakta, dan fiksi.
Data sebagai bentuk plural dari datum dalam bahasa Latin berarti sesuatu yang sudah diberikan. Sesuatu dianggap data bila kenyataan itu dianggap diberikan oleh alam kepada indra manusia. Kebenaran ilmu empirik memerlukan data, sebab kebenaran itu dianggap hanya berasal dari alam yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Alam tidak pernah menipu, veracitas naturae (the truthfulness of nature).
Fakta berasal dari kata factum dalam bahasa Latin yang sejajar dengan kata bahasa Inggris done. Sesuatu menjadi fakta kalau dia merujuk pada tindakan (behavior). Dalam sejarah kenyataan-kenyataan itu dianggap dibuat dan dilakukan oleh manusia melalui tindakan-tindakannya dan karena itu menjadi fakta. Fakta adalah hasil tindakan manusia sebagai homo-agens atau makhluk yang bertindak dan berbuat. Kladen menegaskan bahwa baik data maupun fakta selalu berhubungan dengan indra manusia. Data diterima oleh indra manusia sedangkan fakta dilakukan oleh indra manusia.
Karena itulah dalam pikiran positivisme maupun behaviorisme fiksi diartikan sebagai sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh indra. Padahal dalam bahasa Latin kata fictio yang berakar kata fingere lebih sedikit menunjukkan segi nonrealnya. Dalam bahasa Inggris kata fictio lebih dekat pada to fashion, to form, to construct, to invent, to fabricate. Jadi fiksi berarti sesuatu yang dibuat, dibentuk, dikonstruksi, dibuat-buat, dibangun. Jika ada unsur rekaan dalam fiksi tidak terletak pada segi real dan nonrealnya tetapi pada segi konstruktif, inventif, dan kreatifnya.
Bahkan pada pandangan cultural studies sastra dianggap sebagai suatu teks budaya atau dokumen sosial, sastra dilihat sebagai representasi sosial. Mereka tidak tertarik untuk mendapatkan jouissance, suatu kenikmatan tekstual yang muncul misalnya oleh ketakterdugaan metafor dan imaji yang lazimnya disediakan oleh teks sastra. Akibatnya mereka lebih tertarik pada yang di luar sastra, daripada sastra itu sendiri, pada konteks daripada teks (Sahal, 2002). Sastra, menurut pemahaman Sahal mengenai cultural studies, dikaji demi kepentingan menyingkap bekerjanya kontestasi kuasa dalam setiap praktik penandaan itu.
Padahal menurut Lucy R. Lippard dalam eseinya Trojan Horse: Activists Art and Power (1983) kaum activist artists menyatakan bahwa melalui karya-karya yang politis, mereka tidak berniat melakukan perubahan nilai, atau perubahan sosial, apalagi dalam sekejap, tetapi menempuh strategi “oposisi” terhadap dominasi dan represi. Melalui kedudukan oposisi ini kesenian mengajukan “gambaran-gambaran alternatif, metafora, atau informasi yang dibentuk berupa humor, ironi, kemarahan, ataupun rasa haru” agar “wajah dan suara yang selama ini tak tampak dan bungkam bisa dilihat dan didengar” (Supriyanto, 2002:177). Dari uraian Supriyanto tersebut terlihat bahwa teks dan konteks tidak dapat saling dilepaskan. Teks merupakan strategi oposisi terhadap konteks kontestasi kuasa. Bahkan, Herbert Marcuse berpendapat bahwa seni/sastra harus merupakan ungkapan dari alienasi masyarakat.
Bagi Marcuse, seni/sastra secara hakiki haruslah merupakan ungkapan dari alienasi masyarakat, menampakkan kesadaran akan ketidakbahagiaan orang berhadapan dengan dunia yang terpecah belah, karena kemungkinan-kemungkinan yang tak terwujud, harapan-harapan yang diingkari. Kesenian harus mengungkapkan adanya dimensi manusia dan alam yang tertekan dan tertindas. Kaum seniman harus menunjukkan dalam karya-karyanya suatu dimensi yang dalam kenyataan sosial yang ada belum atau tidak diwujudkan. Mereka harus ‘mentransendir’ kenyataan yang ada (Sudarminta, 1983:132).

Novel sebagai fiksi harus diartikan sebagai sesuatu yang dikonstruksi, diinvensi, dikreasi. Sesuatu yang dikonstruksi, diinvensi, dan dikreasi itu bisa berupa data, fakta, atau realita secara lebih luas. Ideologi, pemikiran, perasaan, dan sebagainya sebenarnya juga merupakan realitas-realitas, fakta-fakta, data. Hal itu sejajar dengan pandangan Michel Foucault mengenai wacana. Wacana tidak dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu (Eriyanto, 2001:64).
Novel sebagai sebuah wacana bukanlah fiksi semata, sejauh bagaimana kita memandang pengertian fiksi itu dan sekaligus bagaimana kita memahami pengertian fakta. Sebab, menurut Sahal (1998:3) garis demarkasi antara fakta dan fiksi, antara ilmu/ filsafat/ laporan jurnalistik dan sastra yang tadinya ditarik secara tegas dan distingtif sekarang pun melumer. Bahkan Zeldin (1994) merasakan bahwa berkat sumbangan dari narasi, dia menulis sebuah sejarah masyarakat modern yang batas antara ilmiah dan imajinatif terlihat kabur.
Salim (dalam Pengantar untuk terjemahan Hayat dan Karya tulisan Geertz, 2002: v) menulis sebagai berikut.
..., di dalam karya-karya yang dianggap menyajikan fakta terkandung imajinasi dan subjektivitas. Persoalannya juga bukan lagi sekadar besar-kecilnya kadarnya, tetapi bahwa kenyataan ini tak dapat dielakkan. Dalam banyak hal, apa yang disebut fakta sesungguhnya adalah sesuatu yang fiktif. Seementara itu yang disebut fiksi, tak sepenuhnya imajinatif dan subjektif. Karya seorang novelis atau penyair, bukan turun tiba-tiba dari langit, tetapi hasil dari pergumulan dan pengalaman sosialnya. Artinya, karyanya pada dasarnya juga menyajikan fakta. Keduanya pada akhirnya sama-sama menyajikan “fakta”, yakni fakta yang telah ditafsirkan. Atau keduanya sama-sama merupakan fiksi: suau ciptaan atau konstruksi.

Novel lahir dari tangan seorang pengarang, tetapi pengarang yang tidak bebas dari atmosfer, baik itu atmosfer budaya, sosial, kepentingan, hegemoni, dan sebagainya.

3. Pandangan Novelis tentang Fakta dan Fiksi
Dalam novelnya Namaku Hiroko Nh. Dini menulis, “Jika dalam kehidupan ada persamaan nama maupun cerita seperti yang terdapat dalam buku ini, tentulah itu hanya merupakan suatu kebetulan.” (1994:9). Ada satu hal yang perlu dikritisi atas ungkapan Dini tersebut yaitu bahwa persamaan nama dan peristiwa antara novel dan kehidupan nyata hanya sebuah kebetulan belaka. Sebuah novel lahir dari kesadaran pengarang dalam berdialog dengan fakta dan data yang dijumpainya dalam hidup nyata. “Kebetulan” dalam konsep Dini tentu bukan kebetulan yang tanpa disengaja, tetapi kebetulan yang lahir dari rekayasa kreatif atas fakta dan data. Peristiwa dalam cerita bukan semata-mata peristiwa yang lahir dan bergolak dalam diri pengarang tetapi peristiwa yang direkonstruksi atau didekonstruksi dari realita yang ada. Artinya, peristiwa dan nama dalam cerita tidak sepenuhnya kebetulan.
Dalam pengantarnya terhadap novelnya Anak Tanahair: Secercah Kisah Ajip Rosidi menulis, “Meskipun roman ini menyangkut peristiwa-peristiwa sejarah dan banyak nama yang disebut di dalamnya benar-benar ada, namun tokoh-tokoh dan jalinan alurnya adalah hayalan semata-mata.” (1985:6). Jadi, dalam novel terdapat realita historis di satu sisi dan realita imajinasi pada sisi yang lain. Jembatan antara realitas historis dan realitas imajinatif itu adalah kesadaran kreatif pengarang. Tampaknya novel tidak dapat melepaskan dari bingkai sejarah, dimensi ruang dan waktu yang ada, sebab justru di situlah pengarang bergelut dan bergulat. Novel sebagai dunia ciptaan, bukanlah sebuah galaksi baru, juga bukan sekadar proyeksi dari peristiwa sejarah. Dalam novel justru bertemu jagad besar (semesta ini) dengan jagat kecil (dunia batin pengarang), fakta dan data pada satu sisi dengan fiksi pada sisi lainnya.
Sikap Dini dan Rosidi itu berbeda dengan sikap Merari Siregar. Siregar dalam mengantarkan novelnya Azab dan Sengsara menulis, “Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini, meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca, adalah benar belaka, cuma waktunya terjadinya kuatur – artinya dibuat berturut-turut – supaya cerita itu lebih nyata dan terang.” (1985:7). Berdasarkan ungkapan Siregar tersebut terdapat tiga hal penting yang menyangkut persoalan novel. Pertama, hal atau kejadian dalam novel itu benar adanya, artinya ia ditulis berdasarkan data dan fakta. Kedua, novelis melakukan seleksi terhadap data dan fakta tersebut kemudian menatanya sedemikian rupa, baik dari sisi pengaluran dan penokohan. Terdapat proses fiksionalisasi. Ketiga, pembaca melakukan interpretasi terhadap teks novel yang berakibat kepada heteregonitas pemahaman.
Yang menarik adalah pernyataan Budi Darma ketika mengawali novelnya yang berjudul Ny. Talis (Kisah mengenai Madras). Darma menulis, “Semua kisah dalam novel ini, kecuali musibah yang menimpa para pesertanya, seharusnya benar-benar terjadi.” (1996:vii). Ungkapan “seharusnya benar-benar terjadi” mengandung implikatur bahwa kejadian dalam novel itu tidak benar-benar terjadi. Inferensinya kisah dalam novel tersebut kemungkinan bisa saja terjadi, bahkan sebenarnya musibah yang menimpa para tokoh kemungkinan juga bisa saja benar-benar terjadi. Ungkapan “seharusnya benar-benar terjadi” menunjukkan bahwa kejadian dalam novel dan kejadian dalam hidup nyata bukanlah hal yang mesti bertolak belakang.
Ungkapan “kecuali musibah yang menimpa para pesertanya” menunjukkan bahwa Darma tidak ingin merekayasa hal-hal buruk yang menimpa tokoh-tokohnya dalam novel yang ditulisnya. Andaikan terjadi musibah, musibah itu murni konsekuensi logis yang harus dialami oleh para tokoh itu dalam mengarungi perjalanan hidupnya. Artinya, tokoh ciptaan dalam novel itu bergerak secara alamiah didorong oleh logika-logika bumi, bukan hanya logika-logika idea.
Bahkan dalam kumpulan noveletnya yang berjudul Si Gila: Kembali
kepada Fitrah Muhammad Ali menulis:
demi Allah
sesungguhnya apa yang
dipaparkan
tentang orang-orang ini
adalah fakta nyata terjadi
tiada sangsi
anak-anak zaman ini
melihat, mengingat dan
mencatat peristiwa
ini
(1998:5)
Muhammad Ali bahkan bersumpah bahwa peristiwa dalam novel yang ditulisnya benar-benar bersumber dari peristiwa yang sungguh-sungguh dijumpai dalam realita. Berdasarkan pandangan itu terbaca jelas bahwa terdapat data dan fakta dalam sebuah novel. Sedangkan fiksi lebih pada proses pemaparan data dan fakta itu ke dalam bentuk cerita.
Tampaknya, bertolak dari pandangan beberapa novelis itu, semua pengarang menyadari bahwa novel tidak sepenuhnya fiktif. Artinya, dijumpai unsur data dan fakta dalam setiap novel. Data dan fakta itu bisa hadir sebagai rangsangan atau sumber ilham, atau bisa pula hadir sebagai latar atau tema sentral dalam kisah yang ditulisnya. Tetapi, karena novel bukan sekadar proyeksi realitas, ada unsur kreatif yang dimiliki pengarang yang mampu mengubah data dan fakta itu menjadi sebuah dunia ciptaan yang unik. Fiksi berkaitan dengan usaha membangun, membentuk, mengkonstruksi, mengembangkan, dan menyusun data dan fakta itu menjadi “sesuatu” yang baru.

4. Struktur Teks Novel
Dalam novel selalu terdapat bagian teks yang merupakan pengaluran, pelukisan latar, komentar pencerita, dan monolog maupun dialog. Novel yang memiliki durasi panjang (bila dibandingkan dengan cerita pendek atau novelet) tidak akan membangun struktur teksnya hanya dengan pengaluran semata, atau hanya dengan dialog saja. Sebab, bila hal itu dilakukan novel itu akan menjemukan karena pembaca dihadapkan pada ekspresi yang monoton, tidak bervariasi.
Pengaluran pada hakikatnya ialah merangkai tindakan tokoh dari waktu ke waktu secara kausalitas. Tindakan itu bisa berupa perilaku fisik, misalnya berjalan, mengejar, duduk merenung, dan sebagainya; maupun perilaku rohaniah yang berisi gagasan, pemikiran, perasaan, dan sebagainya. Dalam tataran wacana ekspresi semacam itu dapat digolongkan sebagai wacana narasi.
Berikut ini contoh wacana narasi dalam novel Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari. Tohari sedang mengisahkan apa yang diperbuat Bajus.
Hampir tengah hari Bajus menghidupkan mesin Jipnya hendak pulang. Srintil sudah membeli jajanan, pepaya dan selai pisang, tetapi Bajus yang membayarnya. Lepas dari daerah pantai Bajus membelokkan jipnya, masuk ke halaman sebuah penginapan. Sejenak Srintil tertegun (1986:171).

Di samping itu dalam novel juga terdapat pelukisan latar, baik itu berupa latar tempat, waktu, maupun latar sosial. Pelukisan latar ini di samping bertujuan untuk membangun imaji faktual agar cerita tampak hidup, juga bertujuan untuk menggambarkan suasana jiwa, hati, maupun batin tokoh. Pelukisan latar termasuk jenis wacana deskripsi. Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, wacana narasi dan deskripsi ini tergolong jenis wacana tulis, pada umumnya bersifat transaksional.
Berikut ini contoh wacana deskripsi yang terdapat dalam novel Ketika Novel Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti. Rangkuti berusaha melukiskan suasana hiruk-pikuk lalu lintas di sebuah perempatan jalan yang ber-traffict lihgt.
Ketika lampu berwarna merah, mobil-mobil di ujung jalan itu berhenti membiarkan mobil-mobil dari jurusan yang berlainan melintas di tengah-tengah perempatan itu. Debu tidak nampak beterbangan di udara yang panas di atas jalan aspal yang licin itu. Deru mobil-mobil yang melintas itu membisingkan. Asap hitam disemburkan lubang-lubang knalpot, sehingga dari balik kaca para sopir udara tampak menjadi hitam. Mobil-mobil itu melintas cepat menepiskan angin dan menggoyang pohon hias di sepanjang tepi jalan (2001:1).

Menurut Sudjiman (1988:80) di samping berkisah, pencerita juga dapat memberikan komentar terhadap apa yang dikisahkannya itu. Ada pun komentar penderita itu ada yang langsung ditujukan kepada pembacanya, ada yang ditujukan kepada tokoh, dan ada pula yang tidak langsung ditujukan kepada pembaca walaupun komentar itu dimaksudkan untuknya. Komentar bisa berupa ragam lisan atau tulis yang bersifat transaksional.
Berikut ini contoh komentar pencerita terhadap perilaku masyarakat yang menjadi latar dalam novel Tanah Baru, Tanah Air Kedua karya N.H.Dini.
Di mana pun, di tempat-tempat umum, selalu terdapat orang-orang yang tidak mempunyai alat tulis! Padahal mereka datang ke sana sudah mengetahui akan membutuhkannya. Di kantor pengiriman telegram, di instansi-instansi pemerintah, dan ini di Dinas Tenaga Kerja. Mereka adalah orang-orang yang cukup berpendidikan. Seharusnya mengerti bahwa alat tulis diperlukan guna mengisi buku tamu maupun formulir ((1997:1-2).

Seperti telah diuraikan sebelumnya, dalam novel akan dijumpai struktur dialog dan juga monolog. Menurut Waluyo (1994:225) jika pada saat bercerita pengarang menguraikan cerita tokoh, maka dalam dialog, pengarang menuliskan percakapan para tokoh.
Secara lengkap Waluyo menulis begini.
Bahasa yang digunakan bukan lagi ragam bahasa tulis, namun ragam bahasa lisan, bahasa yang komunikatif. Dalam ragam bahasa lisan dibenarkan adanya dialek, adanya penghematan bahasa, dan adanya bahasa yang tidak baku. Bahasa dialog biasanya pendek-pendek dan tidak lengkap, karena ucapan tokoh yang satu dilengkapi oleh jawaban tokoh lainnya. Prinsip-prinsip pragmatik berlaku dalam dialog. Bahasa dialog adalah bahasa “speech act” yang memerlukan cara pemahaman yang berbeda dengan bahasa cerita biasa.

Berdasarkan pendapat Waluyo tersebut tampak bahwa dialog tergolong ragam lisan yang bersifat interaksional. Ia juga merupakan wacana percakapan. Berikut ini contoh dialog dalam novel Supernova karya Dee.

Sorot mata Ruben yang tadi terbang mendadak jatuh. Ia menatap Dhimas tak percaya, “Kamu pernah belajar teori keos?”
“Excuse me! Teori keos? Aku baru saja menggubah puisinya Attar, salah satu mistik Sufi ....”
“Ah ya! Sufisme, teori keos, teori relativitas, fisika kuantum ... kadang-kadang aku berpikir semua itu berasal dari satu kotak Pandora, hanya beda jaman, beda bahasa. Kamu sadar betapa indahnya puisi itu? Dan betapa relevannya dengan apa yang kubilang tadi?”
“Memangnya kamu bilang apa?” (2001:6-7).

Bahkan, menurut Sudjiman (1988:84) di samping dialog juga terdapat monolog dalam novel. Dalam monolog seorang tokoh berbicara dengan dirinya sendiri atau berbicara seorang diri saja. Monolog itu cenderung lisan, tetapi bersifat transaksional. Berikut ini contoh monolog yang diucapkan Srintil dalam hatinya saat dua orang pemuda dari Jakarta ingin membeli tubuhnya dalam novel Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari.
Kini kelelakian muncul lagi dalam diri dua orang pemuda dari Jakarta. Duh, Pengeran! Aku belum tahu harus bagaimana menghadapi laki-laki meski dulu bertahun-tahun aku merasa bangga menjadi pemangku nalurinya (1986:97).

5. Simpulan
Sebagai sebuah bangunan kreatif novel memiliki dua pondasi penting yaitu: (1) pondasi idea dan (2) pondasi ekspresi. Dalam pondasi idea hendaknya novel ditempatkan sebagai karya yang tidak sepenuhnya rekaan karena dalam novel ditemukan anasir data dan fakta. Fiksi bukan berkaitan pada ada-tidaknya fakta atau real-tidak realnya cerita, tetapi lebih pada bagaimana data dan fakta itu dipaparkan oleh pengarang. Pemaparan merupakan wujud pondasi ekspresi. Dalam pemaparan itu akan dijumpai pelbagai jenis wacana yang mengekspresikan bagian teks yang merupakan pengaluran, pelukisan latar, komentar pencerita, dan monolog maupun dialog.

DAFTAR RUJUKAN
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Ali, Muhammad, 1998. Si Gila: Kembali kepada Fitrah. Surabaya: Diantama

Boulton. Marjorie. 1975. The Anatomy of the Novel. London: Routledge & Kegan Paul.

Darma, Budi, 1996. Ny. Talis (Kisah mengenai Madras). Jakarta: Gramedia.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.

Dee. 2001. Supernova. Jakarta: Truedee Books.

Dini, Nh. 1994. Namaku Hiroko. Jakarta: Gramedia.

Dini, Nh. 1997. Tanah Baru, Tanah Air Kedua. Jakarta: Grasindo.

Geertz, Clifford, 2002. Hayat dan Karya: Antropolog sebagai Penulis dan Pengarang (Terjemahan Landung Simatupang). Yogyakarta: LkiS.

Kleden, Ignas. 1998. “Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan Fiksi: Imajinasi dalam sastra dan Ilmu Sosial”. Kalam. Edisi 11-1998. hlm.5-35.

Rangkuti, Hamzad. 2001. Ketika Lampu Bewarna Merah. Jakarta: Kompas.

Rosidi, Ajip, 1985. Anah Tanahair: Secercah Kisah. Jakarta: Gramedia.

Sahal. Ahmad, 1998. “Musykilnya Representasi” . Kalam. Edisi 11-1998. hlm.3-4.

Sahal. Ahmad, 2002. “”Cultural Studies” dan Tersingkirnya Estetika” dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, 2002. Bentara: Esei-Esei 2002. Jakarta: Kompas.

Siregar, Merari. 1987. Azab dan Sengsara, Jakarta: Balai Pustaka.

Sudarminto, J. 1983. “Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern” dalam M. Sastrapratedja (ed.). 1983. Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Sudjiman, Panuti. 1998. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Supriyanto, Enin, 2002. “”Cultural Studies”, Kritik Seni dan Apresiasi” dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, 2002. Bentara: Esei-Esei 2002. Jakarta: Kompas.

Tedjoworo, H. 2001. Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern. Yogyakarta: Kanisius.

Tohari, Ahmad. 1986. Jantera Bianglala. Jakarta: Gramedia.

Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Zeldin, T., 1994. An Intimate History of Humanty. New York: Harper Collins.

ANTARA MINAT BACA DAN SELERA BACA

Oleh Tengsoe Tjahjono

Membaca merupakan salah satu kegiatan bahasa yang amat vital dalam masyarakat modern dan lebih-lebih di kalangan akademisi. Dalam masyarakat setiap hari puluhan koran, majalah, bahkan buku-buku selalu diproduksi dan dipasarkan. Di dalam semua jenis media itu akan dijumpai informasi mengenai pengetahuan, berita, lapangan pekerjaan, iklan, dan sebagainya, yang mau tak mau harus diserap oleh masyarakat modern tersebut. Kecuali, jika masyarakat modern tersebut, hanya modern dalam dimensi waktu, bukan modern dalam dimensi kultural. Membaca, seharusnya, menjadi kebutuhan hidup masyarakat ini.
Rosidi (1983:86) menegaskan bahwa pengetahuan sebagian besar tidaklah didapatkan dari bangku sekolah, melainkan melalui buku. Banyak orang mengatakan bahwa buku itu sesungguhnya merupakan universitas yang paling baik.
Sedangkan di kalangan akademisi membaca menjadi jantung kehidupan mereka. Informasi yang diberikan guru atau dosen tentu amat terbatas. Untuk memperluas cakrawala akademik mereka buku merupakan sarana yang mesti diakrabi. Tanpa membaca buku seorang akademisi akan berjalan di lorong gelap. Analisis yang mereka lakukan terhadap segala persoalan hanya akan bersifat intuitif tanpa teori yang telah diuji kebenarannya melalui pelbagai penelitian. Akibatnya pembahasannya hanya akan seperti orang berbincang di warung kopi atau di tengah padang penggembalaan. Acapkali terjadi ‘debat kusir’ karena masing-masing pribadi hanya akan menonjolkan subjektivitas intuisinya. Hal itu disebabkan tidak adanya referensi yang mendukung atau menunjang kajiannya. Di situlah kegiatan membaca diperlukan oleh para akademisi.
Finochiaro dan Bonomo (1973:21) menjelaskan bahwa membaca berarti mengambil atau memahami arti dari bahan cetakan atau tulisan. Karena itulah membaca memang memerlukan persyaratan tertentu bagi pembaca agar ia dapat memahami makna tersebut. Menurut Nurhadi (1987:123) untuk memperlancar proses membaca, seorang pembaca harus memiliki modal: (1) pengetahuan dan pengalaman, (2) kemampuan berbahasa (kebahasaan), (3) pengetahuan tentang teknik membaca, dan (4) tujuan membaca.
Ada satu batasan membaca yang amat komprehensif yaitu: “Membaca adalah proses pengolahan bacaan secara kritis-kreatif yang dilakukan dengan tujuan memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang bacaan itu, dan penilaian terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan dampak bacaan itu.” (Oka, 1983:17).
Oleh karena itu membaca bukan sekadar ‘melafalkan huruf-huruf’, tetapi lebih pada kegiatan jiwa untuk mengolah apa yang kita baca. Mengolah dalam arti kita tidak harus menyerap begitu saja isi bacaan tersebut. Kita dituntut memiliki sikap kritis-kreatif. Jadi kita harus menerima secara kritis-kreatif apa yang kita baca. Kita harus memikirkan nilai apa yang terkandung dalam bacaan, apa fungsinya, dan yang terpenting apa dampaknya bagi diri sendiri dan bagi masyarakat pembaca secara luas.
Menurut Smith (1973:36) membaca bukan semata-mata proses visual. Ada dua macam informasi yang terlibat dalam kegiatan membaca. Pertama, informasi yang datang dari depan mata. Kedua, informasi yang terdapat di belakang mata. Informasi yang terdapat di depan mata ialah huruf-huruf. Sedangkan, informasi yang terdapat di belakang mata ialah isi dan pesan yang terkandung dalam bacaan itu. Memahami isi bacaan itu menuntut pembaca untuk memiliki kemampuan berpikir dan bernalar. Edward L. Thorndike pun mengatakan bahwa reading as thingking dan reading as reasoning.

Sudahkah Kita Membaca?
Selama ini selalu ada pernyataan bahwa kita belum mempunyai budaya baca. Atau, dengan kata lain minat baca kita rendah. Benarkah demikian?
Ketika saya berjalan-jalan di toko-toko buku, entah di Gramedia, Togamas, atau lainnya, selalu saya lihat berjubel orang di sana. Berjubel untuk memilih dan membeli buku. Anak-anak, remaja, dan kelompok usia dewasa ada yang mengerumuni buku-buku komik terjemahan dari Jepang juga novel-novel anak muda. Saat berada di dalam bus, kereta api, atau pun pesawat udara, acapkali kulihat banyak penumpang yang membaca di tempat duduknya. Panorama itu sekilas membuktikan bahwa minat membaca buku sudah ada.
Bahkan, jika kita sempat anjangsana ke perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi, kita juga akan melihat para mahasiswa yang hilir-mudik mencari buku di rak-rak. Sementara, di meja-meja baca pun terlihat mahasiswa sedang suntuk menghadapi beberapa buku. Fenomena itu sepintas menunjukkan bahwa di kalangan mahasiswa pun membaca buku sudah menjadi kebutuhan.
Tetapi, benarkah itu merupakan indikasi bahwa minat baca telah tumbuh di antara mereka? Tampaknya kita harus secara kritis menanggapinya.
Jika kita perhatikan secara cermat yang banyak dikerumuni orang di dalam toko buku itu ialah gerai komik dan novel-novel teenage. Anehnya, segala umur terdapat dalam kerumunan itu. Komik dan novel teenage telah menjadi booming sekarang ini. Pembaca Doraemon, Sinchan, Detektif Conan, dan sebagainya bukan anak-anak atau remaja saja, mahasiswa pun tampak keranjingan dengan bacaan jenis itu. Hal itu tentu merupakan fenomena yang unik dan menarik di Indonesia.
Jadi, jika kita bicara mengenai minat baca, minat baca telah tumbuh di antara mereka. Tetapi, bagaimana dengan selera baca mereka? Selera baca tampaknya berjalan dengan trend bacaan yang ada. Artinya, pembaca kita dalam memilih bacaan bagai memilih makanan sejenis pizza, fried chicken, hot dog, dan sebagainya. Tanpa pernah berpikir apakah makanan itu sesuai dengan anatomi lambungnya yang diciptakan untuk hidup bertahan di daerah tropis. Tanpa pernah mengkaji apakah gizi yang terkandung dalam makanan itu sesuai dengan kebutuhan gizi masyarakat kita yang selalu diterpa sinar matahari.
Membaca dapat dianalogikan dengan makan. Makanan yang kita pilih tentu makanan yang penuh kandungan gizi, mineral, protein, vitamin, dan sebagainya sehingga mampu menyehatkan kita. Bacaan pun harus mampu menyehatkan jiwa kita. Bacaan itu setidak-tidaknya harus mampu memperluas cakrawala pengetahuan kita serta lebih jauh harus bisa mencerdaskan kita sebagai pembaca.
Fungsi bacaan tentu bukan sekadar untuk menghibur. Anderson (1972:214) mencatat beberapa tujuan membaca sebagai berikut.
1. Membaca untuk menemukan rincian atau fakta (reading for details or facts). Jadi, dalam hal ini membaca bertujuan untuk memperoleh gambaran objek atau fakta secara rinci dan akurat. Misalnya membaca perihal keadaan kota Sumenep pada waktu malam minggu.
2. Membaca untuk menemukan gagasan utama (reading for main ideas). Dalam hal ini membaca bertujuan untuk memahami gagasan atau pikiran-pikiran yang disajikan penulis melalui karyanya. Misalnya membaca artikel yang berjudul “Sudah Siapkah Kita Melaksanakan Pilkada secara Langsung?” Dengan membaca artikel itu kita berharap menemukan pikiran-pikiran penulis perihal sisi negatif pilkada secara langsung misalnya.
3. Membaca untuk mengetahui urutan dan organisasi sebuah teks tertulis (reading for sequence or organization). Apabila kita akan membeli buku, sebaiknya kita membaca lebih dahulu daftar isi buku tersebut. Daftar isi itu merupakan gambaran garis besar buku tersebut. Dari situ akan terlihat urutan bahan dan sekaligus penataannya. Organisasi berpikir pengarang akan tercermin oleh daftar isi itu.
4. Membaca untuk menyimpulkan (reading for inference). Hal ini bisa kita lakukan manakala kita telah menyelesaikan satu teks bacaan sampai tuntas. Dalam sebuah buku yang terdiri atas beberapa bab atau subbab proses inferensi bisa dimulai pada akhir setiap subbab, bab, dan pada akhirnya setelah kita membaca secara menyeluruh isi buku itu.
5. Membaca untuk mengelompokkan (reading for classify). Jika kita bekerja di perpustakaan kita dituntut untuk mengelompokkan buku secara benar, mana yang buku filsafat, kebudayaan, sains, sejarah, dan sebagainya. Indikasi pengelompokan itu dapat dilihat dari judul buku atau baru dapat ditentukan kelompoknya bila kita telah membacanya.
6. Membaca untuk menilai (reading to evaluate). Hal ini biasa dilakukan dalam kegiatan meresensi buku. Ketika meresensi buku seorang peresensi akan membaca dengan tujuan untuk menilai isi, bahasa yang dipakai buku itu, dan sistematika penyajiannya. Pada akhirnya peresensi akan memberikan rekomendasi atas dasar hasil penilaiannya terhadap buku itu: apakah buku itu layak dibaca atau justru tidak usah dibeli, apakah buku itu mengandung pesan moral yang baik atau justru kebalikannya, dan seterusnya.
7. Membaca untuk membandingkan atau mencari perbedaannya (reading to compare or contrast). Dalam setiap bacaan tentu akan dijumpai banyak hal atau peristiwa. Dalam buku kesehatan misalnya kita harus bisa menentukan apakah polio itu sejenis penyakit karena virus atau bukan. Untuk itu kita dituntut membandingkan polio ini dengan penyakit lain dan jika diperlukan mencari perbedaannya.
Jika kita mencermati tujuan membaca menurut versi Anderson itu, kita berhak bertanya kepada mahasiswa yang gemar membaca Sinchan: tujuan yang mana yang hendak digapai? Jawabannya hanya satu: hiburan. Kalau itu jawabannya maka mahasiswa itu tidak akan pernah dicerdaskan oleh bacaan sejenis Sinchan tersebut. Gizi apa yang diperolehnya untuk kepentingan jiwanya setelah membaca Sinchan? Mungkin ia akan mengatakan bahwa gizi akan diperolehnya dari buku lain, bukan Sinchan. Dengan Sinchan ia hanya ingin dihibur. Tapi, benarkah ia membaca buku jenis lain?
Memang benar bahwa perpustakaan banyak dikunjungi mahasiswa. Hanya saja mahasiswa yang berkunjung ke perpustakaan rata-rata mereka yang sedang mengerjakan tugas makalah dari dosennya atau tugas akhir berupa skripsi. Untuk menulis skripsi pun mereka membaca skripsi yang sudah ada, kemudian mengutip beberapa bagian kajian pustaka dan metode penelitian. Andaikan tidak harus menulis makalah atau skripsi, mereka akan terlihat mojok memegang HP bersms-ria. Jadi, motivasi yang benar untuk membaca ternyata belum begitu tampak.
Adakah mahasiswa atau kita secara umum dengan penuh kesadaran membeli buku untuk memperkaya khazanah pengetahuan kita? Mungkin jawabannya: ada, tetapi tidak banyak. Dan yang tidak banyak itu akan berkilah bahwa sekarang ini harga buku mahal. Benarkah mahal? Sebab di sisi yang lain mereka dapat membeli pulsa telepon seluler100 ribu rupiah tiap bulan. Hal itu berarti bahwa penyebab utama bukan pada mahalnya buku tetapi justru pada motivasi yang tidak ada, serta tampaknya buku belum menjadi prioritas dalam hidup mereka.

Subsidi Pemerintah untuk Buku
Peningkatan minat baca memerlukan sarana-prasarana. Sarana penting dan harus tersedia ialah BUKU itu sendiri. Bagi masyarakat kelas menengah ke atas, seperti yang saya sebutkan di atas, harga buku tentu bukanlah alasan. Tetapi, bagi masyarakat kelas menengah ke bawah buku menjadi benda yang amat mewah. Oleh karena itu, pemerintah harus menyediakan subsidi bagi pengadaan buku murah tersebut.
Saat saya bersekolah pada tahun 1970-an buku bukanlah sesuatu yang mempersulit kehidupan keluarga saya. Semua buku pelajaran disediakan di perpustakaan sekolah, saya tinggal meminjamnya. Sehingga setiap awal tahun ajaran baru kami tak pernah merasa khawatir mengenai keuangan untuk membeli buku. Mengapa di masa sekarang ini hal itu tak dapat dilakukan? Bagi saya ini merupakan sebuah kemunduran.
Di samping buku-buku pelajaran di perpustakaan juga tersedia buku-buku referensi lain. Misalnya: novel, ensiklopedia, kamus, buku pengerahuan umum, filsafat, dan sebagainya, yang jumlahnya tidak hanya 1 atau 2 eksemplar, tetapi cukup untuk klas yang beranggotakan 40 siswa. Dengan cara demikian peningkatan minat baca bukan sekadar slogan kosong tetapi dibarengi dengan penyediaan sarana-prasarana.
Menurut Rosidi (1983:18) rendahnya minat baca bangsa Indonesia sekarang ini disebabkan terutama oleh rendahnya daya beli. Rendahnya daya beli itu disebabkan oleh rendahnya penghasilan umumnya bangsa kita. Oleh karena itu, jika perlu pemerintah membangun toko buku murah di setiap kota yang diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah itu.

Peningkatan Minat Baca
Minat baca itu hendaknya ditumbuhkan sejak anak usia dini, terutama melalui lembaga pendidikan. Kegemaran membaca bukanlah aktivitas yang tumbuh dengan sendirinya dalam diri setiap anak. Membaca merupakan kebiasaan yang harus ditanamkan, dipupuk, dibina, dibimbing, dan diarahkan. Pembinaan tersebut hendaknya diarahkan bukan hanya pada teknik membacanya tetapi juga pada pemilihan bahan bacaan. Anak harus dilatih untuk memilih bacaan dengan memperhitungkan aspek moral, bahasa, dan kesesuaiannya dengan kebutuhannya.
Luwarsih Pringgoadisurjo (1974) menyebutkan ada 3 klasifikasi buku untuk anak, yaitu: (1) buku referens (buku untuk memperoleh informasi), (2) buku studi (buku untuk membina pengetahuan), dan (3) buku rekreasi (buku untuk menikmati dan menghayati pengalaman). Jadi, anak hendaknya dilatih untuk memilih jenis-jenis buku tersebut yang akan memperluas cakrawala pengetahuan dan pengalaman mereka.
Kegiatan itu sangat bisa dilakukan di sekolah, lebih-lebih dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sekarang ini. Persoalan yang muncul adalah: (1) tersediakah buku-buku di perpustakaan sekolah secara memadai, baik secara kualitas maupun kuantitas, dan (2) sudah siapkah guru-guru (bukan hanya guru Bahasa Indonesia, karena membaca merupakan keharusan setiap mata pelajaran) mendampingi siswa membaca?
Memang, diakui atau tidak, ada beberapa penghambat kegiatan peningkatan minat baca ini, antara lain:
(1) Orang dewasa (baik guru maupun orang tua) tidak menunjukkan kegemaran membaca yang pantas diteladani anak-anak atau siswa.
(2) Kurang tersedianya buku-buku bermutu, bahkan koran atau majalah, terutama di rumah, yang mendorong anak rindu membaca.
(3) Banyak orang tua menganggap buku bukan merupakan prioritas penting, sehingga tidak merasa perlu membelinya untuk anak-anaknya.

Peningkatan Selera Baca
Tak ada salahnya anak-anak membaca Sinchan, Kobo-Chan, Doraemon, dan sebagainya. Tetapi, orang tua harus mengimbangi minat baca anak-anak itu dengan menyediakan buku-buku pengetahuan populer (buku pengetahuan yang ditulis dengan cara sederhana, bahasa yang mudah dipahami anak, penuh dengan gambar warna-warni, dan sebagainya) yang juga tersedia di toko-toko buku. Dengan cara demikian, selera baca anak-anak diarahkan ke pelbagai dimensi baca yang membuat anak diperkaya jiwanya.
Di usia SMP anak-anak di samping komik mulai diperkenalkan dengan novel-novel teenage. Artinya, anak mulai diajak untuk berpindah dari wilayah gambar ke wilayah lambang verbal. Hal ini penting sekali untuk melatih daya abstraksi mereka. Untuk mendapatkan pengetahuan umum anak sudah diarahkan untuk mampu membaca ensiklopedia secara cepat dan akurat misalnya. Setahap demi setahap bobot buku yang dibaca anak harus berubah, sehingga di SMA atau perguruan tinggi mereka tidak lagi kecanduan Sinchan. Sinchan sudah menjadi masa lalu mereka seharusnya.
Itulah sepintas pemaparan saya mengenai minat baca. Bagi saya minat baca sebenarnya sudah tumbuh dalam diri kita. Hanya saja minat baca tersebut tidak diimbangi dengan pertumbuhan selera baca secara benar. Akibatnya, walau kita sudah membaca, kita tetap tidak dicerdaskan oleh bahan bacaan kita. Kita harus mau menumbuhkan kesadaran diri memilih bahan bacaan yang sungguh bergizi.
Di samping itu budaya baca bisa tumbuh bila tersedia buku-buku bacaan dan perpustakaan. Karena itu, campur tangan pemerintah dalam bentuk pemberian subsidi terhadap penyediaan buku murah sangat dinantikan. Tanpa itu semua peningkatan minat baca hanya akan menjadi sebuah utopia.


DAFTAR RUJUKAN
Anderson, Paul S., 1972, Language Skills in Elementary Education. New York: Macmillan Publishing Inc.

Finnocchiaro, Nary & Michael Bonomo, 1973. The Foreign Language Learner: A Guide for Teacher. New York: Regents Publishing Company Inc.

Oka, I Gusti Ngurah, 1983. Pengantar Membaca dan Pengajarannya. Surabaya: Usaha Nasional.

Rosidi, Ajip, 1983. Pembinaan Minat Baca, Bahasa dan Sastra. Surabaya: Bina Ilmu.

Smith, Frank, 1973. Psycholinguistics and Reading. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.





BIODATA

TENGSOE TJAHJONO, lahir di Jember 3 Oktober 1958. Penyair yang mempunyai hobi membaca ini merupakan staf pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FPB Unesa Surabaya. Di samping itu ia juga mengajar di Universitas Widya Mandala Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, dan STKIP PGRI Sumenep. Puisi, cerpen, novel, bahkan naskah drama telah ditulisnya, di samping beberapa buku di bidang sastra. Artikel-artikelnya dimuat di pelbagai media seperti Jawa Pos, Surabaya Pos, Surya, Republika, Kompas, Horison, dan sebagainya.

Jumat, 24 April 2009

Puisi-puisi Tengsoe Tjahjono

JARAK

udara melebar, sayap terbakar
gelinjang terbang merapuh dalam angka
tik-tak kelender purba

udara terayun, redup berdentum
jantung meledak oleh api
siapa mawar yang sisakan duri

dalam candi batu membiru
sungguh cuma catetan kelam
merenda luka fana

(kau berbisik kepada kuping malam
: kenapa matahari menggigil suntuk begini?)

april 2009

Rabu, 04 Maret 2009

Sajak-Sajak Tengsoe Tjahjono

MEMBACA WAKTU

memulai dari mana. kelenjar itu tak berwarna
tanda-tanda yang biasa dibaca
mengabut-menjelaga

langkah siapa berhenti dekat pintu
untuk membuka zaman yang tiada
daun kemboja berguguran tanpa bunga
lembut oleh lumut dan debu
"Tuhan, tak pantas aku cemburu pada-Mu"

lalu bersijingkat, seakan masih kemarin
padahal waktu sudah seribu tahun terkubur
tangan masih sepi oleh keringat dan luka
ah, tanpa bencana?

dan pintu
tak bisa menunjukkan waktu
padamu

KWATREN JEMARI

hanya jemari yang setia menghitung
tanda arang pada dinding
seperti sejarah yang hilang
catatan yang terus terbuka menanti kaubaca

Selasa, 03 Februari 2009

Puisi-puisi Tengsoe Tjahjono

HANYA HUJAN

suara yang mengeras di luar jendela. membeku
Selaput jala matamu mengabur menangkap senja pekat
ada hari yang lenyap
pada detik asing oleh alpa abadi

"Masa depan itu punyamu, anakku!"
Kalimat-kalimat usang dari orang-orang tua sepertiku
apa artinya? Hidup adalah gasing
berputar dan terbanting
mengapung pada parit busuk dan waktu yang lenyap selalu

suara yang mengeras di luar jendela, kenapa tak
sampai ke hatimu, padahal kupingku selalu teriris
oleh kebenaran yang dipupukkan

Miris aku mengeja!

Februari 2009

AYO

bacalah kitab yang terbuka di hadapanmu, anakku
wajahmu tua, pucat pasi, lunglai
Itu ada saatnya, ketika matahari tak lagi jadi punyamu
dan jalan tinggal sepotong mengantarkanmu ke labirin sepi

bacalah sekali lagi, atau berulang kali
lalu format di jiwamu langkah kerucut menuju sudut
agar hujan kemarin tidak melahirkan badai
tapi sungai yang menjulur ke muara
: simfoni dalam balkon orkestra

Februari 2009

Senin, 12 Januari 2009

JANUARI

Keledai yang kemarin masih berada di kali yang sama
bayangannya berlendir, merebahkan hutan pada matahari
Tak ada narasi, hanya debur puisi
menangis pada pagi

Rumput menganga tanpa hijau
hanya akar-akarnya menandai jiwa yang selalu koyak
oleh ulat
Seperti kemarin yang sama
atau lusa

Masih lelaki ia, juga keledai
yang bertelinga tapi tak mendengar
saat hujan menggerus pagi
menggigilkan matahari!

Inikah akhir itu?