Rabu, 30 Juli 2008

Puisi Tengsoe Tjahjono

SIANG

menganga jalan. selintas-lintas remah waktu
terbujur di sela-selanya. catatan kemarin
menjingga: masihkah bisa berpaling?
cakrawala mengabur bersama kabut

matahari tak sepanas tahun lalu. daun pun
tak melahirkan hijaunya. apa yang bisa direkam
seekor kucing kehilangan belangnya
lenyap ditelan gerah yang tidak sempurna!

Selasa, 10 Juni 2008

Cerpen Tengsoe Tjahjono

KUCING-KUCING ISTRIKU
Cerpen Tengsoe Tjahjono

Sebelum menikah dulu, aku paling nggak suka sama kucing. Juga Rumi, pacarku yang kini resmi jadi istriku. Mungkin kami boleh dibilang bukan penyayang binatang. Tapi bagaimana lagi, kami nggak suka bulunya, tahinya, baunya, bahkan meongnya.
Film kartun Garfield pun tak kami tonton, padahal kami penggemar kartun. Film Catwoman yang sempat meledak di kotaku tak kami lihat. Enyahlah kau kucing dari hadapanku! Tidak bakal ditemui gambar atau potret kucing di rumahku. Apalagi patung, pernik-pernik, gantungan kunci, mainan yang berbentuk kucing. Juga tak ada kucing yang berani melintas di halaman rumahku sebab istriku pasti melemparnya dengan apa saja yang ada di dekatnya: batu, asbak, vas bunga, kursi, bahkan jika mungkin almari.
Sampai pada suatu peristiwa. Saat itu kami pulang dari gereja, seekor kucing terkapar di jalanan. Tepatnya seekor anak kucing. Tampaknya baru saja sebuah kendaraan menubruknya. Kucing itu menjerit-njerit atau mengeong-ngeong kesakitan.
“Kasihan. Harus kita tolong, Pa.” Kata istriku. Tentu aku kaget bukan kepalang. Jelas itu bukan bahasa istriku untuk seekor kucing. Biasanya ia akan berucap: ‘Syukurin. Kenapa tak mampus sekalian.’
“Tapi ...,” jawabku tergagap.
“Kucing ini juga makhluk Tuhan, Pa. Tak bedanya dengan manusia,” kata istriku sambil memungut kucing itu, “Melihat tubuhnya yang terkapar aku jadi ingat Yesus ketika harus memanggul salibnya ke Golgota,” Wah, istriku sungguh keterlaluan. Kucing adalah kucing, tak ada hubungannya dengan Yesus. Kotbah Romo tadi mungkin kurang jelas. Mestinya harus ditegaskan: Menolong orang lapar, haus, kedinginan, dan sebagainya itu memang seperti menolong Yesus sendiri. Tetapi, tak termasuk menolong binatang. Lebih-lebih kucing.
Yang jelas sejak saat itu kucing itu menghuni rumahku. Bahkan, beranak pinak, menjadi selusin sekarang. Belum lagi masing-masing kucing membawa pacarnya ke rumah. Sampai-sampai aku tak memiliki tempat untuk berbaring karena di mana-mana ada kucing. Makan pagi aku harus duduk semeja dengan kucing, mandi harus rela antre dengan kucing, susu harus rela berbagi dengan kucing. Gilanya lagi kucing-kucing itu suka nonton acara berbau kucing di televisi. Akibatnya, aku tak lagi bisa menikmati lagu kroncong, film horor, atau kuis di televisi. Keparat!
Yang lebih menyiksa diriku adalah istriku sekarang suka banget memeluk kucing-kucing itu. Pernah kulihat Rumi berbincang-bincang dengan kucing-kucingnya ketika ia habis bertengkar dengan aku tentang penolakanku terhadap kehadiran kucing-kucing itu di rumah. Aku memprotes istriku karena aku sadar secara perlahan-lahan aku telah menjadi orang nomor ke-13. Yang nomor 1 s.d. 12 adalah kucing-kucing busuk itu. Aku merasa tersisih. Aku merasa tak lagi diperhatikan istri.
“Ini sangat tidak realistis!” aku meradang.
“Mana yang tidak realistis?!” Rumi menerjang.
“Mama lebih cinta kucing.”
“Papa ngawur. Mana mungkin aku lebih mencintai kucing daripada mencintai papa? Papa hanya membelokkan persoalan. Papa yang tidak mencintai aku. Buktinya papa tidak mencintai kucing-kucing aku! Apa sih sulitnya mau menerima kucing-kucing ini dengan apa adanya? Jangan didramatisir ah ....” Sergah Rumi. Selalu saja aku kalah berdebat dengan Rumi. Benarkah aku cemburu sama kucing-kucing itu? Ngeri sekali aku membayangkan bila kecemburuan itu sungguh tumbuh dan berpinak dalam jiwaku.
“Pak Lamda tidak tegas sih sama istri, “kata Bonar, anak buahku di kantor saat istirahat makan siang, “Perempuan kalau dikasih hati ya begitu jadinya. Bapak harus berani kasih ultimatum. Misalnya: pilih aku atau kucing-kucing itu? Saya yakin ibu akan ketakutan jika diancam seperti itu.” Bonar sangat yakin. Namun, aku tetap saja ragu-ragu. Rumi tak bakal takut oleh ancaman, karena dia tahu aku kelewat mencintainya.
“Masak suami dikalahkan hanya oleh kucing? Tidak sebanding ya kan?” timpal Arimbi, sekretarisku, dengan ringkik ketawanya. Aku benci mendengar ringkik itu, tapi sering aku tak berdaya saat Arimbi menggeleyot di pundak setiap kali ada kunjungan ke luar kota. “Mau nggak, ya, Ibu bersaing dengan aku?” kata Arimbi seakan-akan lebih pada dirinya sendiri. Walau ketajaman kata-kata itu sungguh menusuk jantung kesadaranku, tapi aku tidak mampu memprotes Arimbi. Aku pura-pura nggak mendengar. Kantin ini ber-AC, tapi aku sungguh gerah, kepala ini terasa mendidih.
Tentu saja aku mendidih. Bayangkan, pada suatu sore ketika aku pulang dari kantor tidak kujumpai potret keluarga kami di dinding ruang tamu. Sebagai gantinya adalah potret kucing-kucing sialan itu bersama istriku. Bahkan, potret pernikahan kami yang terletak di ruang tengah, telah berganti menjadi potret kucing yang diambil secara close-up. Potret-potret kami yang nampang di depan Gedung Putih, di Menara Pisa, di Air Terjun Niagara, di Taj Mahal, di Gereja St Petrus Vatikan, dan sebagainya lenyap nyaris tanpa bekas. Kucing ada di mana-mana. Rumi sungguh keterlaluan!
“Apa maksud Mama dengan semua ini?! Ini pembunuhan karakter namanya,” aku meradang. Rumi tidak terpengaruh dengan radanganku. Dia sibuk menyiapkan susu di beberapa mangkok untuk kucing-kucingnya.
“Penggantian foto-foto itu menandakan bahwa Mama telah melupakan keluarga kita, melupakan aku dan Bambi. Ada pembusukan di rumah kita ini. Ini bahaya. Aku harap mama duduk tenang, pikirkan ulang apa yang telah mama perbuat,” aku berusaha menjelaskan logikaku kepada Rumi.
“Papa ini suka sekali mendramatisir keadaan. Tidak ada pembunuhan karakter di keluarga kita ini. Lebih-lebih pembusukan. Potret-potret kucing itu saya pasang semata-mata karena aku menyukai nilai seninya. Angle yang tepat, grafis yang bagus, dan teknik pencetakan yang cermat. Papa ini kan seniman, masak nggak tahu mengenai estetika dan puitika. Papa ini memang aneh.” Kata Rumi dengan ketenangannya yang terukur. Justru dengan ketenangannya itu aku sering tidak berkutik di hadapan Rumi. Sambil sembunyi-sembunyi kucoba mengamati potret-potret kucing itu. Kini baru kusadari bahwa sebagai sebuah produk seni fotografi, potret-potret itu memang amat bagus. Bulu-bulu kucing itu tampak sangat halus. Detailnya terpancar sempurna. Ujung bulu-bulu itu terlihat seakan-akan mencuat ke luar kanvas. Bahkan, mata kucing yang potretnya dipasang di ruang tengah, abu-abu mengkilat memandangku dengan kemarahan yang penuh. Gila! Ini benar-benar produk kesenian yang agung.
“Pa!” Rumi tiba-tiba berteriak. Aku kaget bukan main. Jarang Rumi berteriak seperti itu, “Sudah mama bilang pagi tadi kan, Pa, bahwa ikan asin di almari makan itu khusus untuk kucing-kucing kita. Malah Papa ikut-ikutan memakannya. Papa sadar nggak, sih, bahwa ikan asin itu kupesan khusus dari Sumenep untuk kucing-kucing kita. Bukan untuk Papa. Mana sih rasa belas kasih Papa kepada kucing yang tak berdaya itu?!” Edan, untuk urusan ikan asin saja aku harus kalah dengan kucing.
Ini harus dihentikan!
“Papa jangan coba2 buang kucing ma2. Dampaknya amat buruk.” Bambi, anakku yang kuliah di kota provinsi mendadak SMS. Seakan tahu apa yang berkecamuk di benakku. Tapi, apa pedulinya. Dia enak aja ngomong, sedang aku harus bergelut dengan situasi runyam ini setiap hari. Saat istriku ada tugas kantor tiga hari ke Bali, kupanggil tukang becak langganan kami. Kucing-kucing itu aku masukkan ke dalam karung. Kulempar ke jok becak, kusuruh Kang Su membuangnya jauh-jauh. Tiga desa jaraknya dari rumah.
Malamnya aku sungguh dilahirkan kembali. Bebas dari bulu, bau, tahi, dan teror meong kucing-kucing itu. Aku nikmati sajian di teve sepuas-puasnya: lagu dangdut, film India, kuis, sepakbola, iklan, dan sebagainya. Aku mandi sepuas-puasnya, aku minum kopi sehangat-hangatnya. Hanya saja bayangan wajah istriku yang meledak saat tahu kucing-kucingnya raib amat mengganggu kenikmatanku.
Bilang apa ya padanya saat ia bertanya kemana kucing-kucingnya? Tak mungkin kukatakan bahwa ke-12 kucingnya digondol maling, ketabrak mobil, atau keracunan ikan asin. Jangkrik! Walaupun aku cerpenis, ternyata nggak mudah mengarang cerita untuk kasusku kali ini. Atau, mungkin kukatakan bahwa kucing-kucing itu sedih karena majikan putrinya nggak ada di rumah. Dengan kesedihan yang amat menghunjam hati, ke-12 kucing itu sepakat meninggalkan rumah.
Capek berpikir, aku mulai SMS. “Hai, sdg apa?” SMS-ku kepada Sindi. “Kangen nih.” SMS-ku kepada Juwi. “Msh cantik?” SMS-ku kepada Pingkan. Malam itu berpuluh-puluh SMS meradang melayang ke mana-mana. Kebiasaan lamaku tiba-tiba mengalir begitu rupa. Persis air waduk yang sekonyong jebol tanggulnya. Aku baru menyadari bahwa selama ini kucing-kucing itu telah membunuh kesenanganku. Aku baru juga menyadari bahwa ternyata istriku nggak sempat keluar rumah gara-gara kucing sialan itu. Itu artinya sudah lama aku nggak SMS kucing-kucingku (ha, namanya Sindi, Juwi, Pingkan, Sangkar, Bulan, dan entah siapa lagi. Sungguh beda dengan kucing-kucing istriku).
Malam itu kucing-kucingku datang, merangkak, melata, menggeleyot, mengeong, berbau parfum, memenuhi seluruh ruang kamarku. Yang jelas berbeda dengan kucing-kucing istriku. Aku pun telanjang di sofa di depan teve yang terus menyala. Gairah binatangku bangkit bersama serbuan kucing-kucingku dari layar HP yang terus terbuka. “Pingkan punya Kanda.” Atau “Juwi rindu Abang.” Atau “Sindi cinta Akang.” Atau .... Pingsan aku digerus malam.
Aku terbangun saat kudengar pintu gerbang seakan digedor-gedor orang. Kulirik di dinding jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Sungguh aku digerus pingsan. Tubuh koyak, malas tegak. Sedikit goyang kuseret tubuhku menuju jendela yang semalaman kubiarkan terbuka. Ya, Tuhan, benarkah yang kulihat kali ini? Kuusap mataku, lanskap di depanku tidak berubah. Kucing-kucing istriku berisik di luar pagar. Kaki-kaki mereka mencakar-cakar pintu gerbang. Matanya nyalang!
Gila, tidak hanya 12. Ada 12 lagi di belakangnya. Ada lagi 12. Terus 12. Berlusin-lusin kucing menyerbu rumahku. Ada yang menyusup lewat sela jeruji besi pagar. Ada yang melompat. Ada yang mengendap-endap mirip maling. Saat itu pula telepon rumah berteriak-teriak. “Mas, jangan lupa makan untuk kucing-kucingku, ya!” istriku memekik dari kejauhan. Bernada perintah. Apa yang dipikirkan tentang diriku? Rasanya nggak ada lagi. Kecuali kucing-kucingnya.

Awal tahun 2008

Senin, 09 Juni 2008

SAJAK-SAJAK TENGSOE TJAHJONO

SIAPA PUISI
tak ada persetubuhan di sini sebab hidup merumput
dari bumi. Lahir begitu rupa sesaat matahari menerobos sela-sela jemari
menghitung kalender yang melumer
oleh waktu

puisi jadilah zat yang biasa-biasa saja. Amat bersahaja
kerna lahir bukan oleh persetubuhan. Runtuh begitu saja
dari pepohonan hidupmu.

dan di setiap laci kusiapkan epitaf baginya

SIAPA PENYAIR
biarkan kereta ini terus berjalan. Bebukitan cahaya mencairkan kebekuan
yang mengabad dalam jiwa. Ada memang yang perlu dicatat bukan untuk
halaman-halaman koran atau majalah atau televisi
Cuma saksi dari daun-daun yang menguning oleh musim
atau magma yang meledak dalam jantungmu. Tak ada artinya pengeras
suara ketika telinga tak lagi mampu mengurai angin lalu! Kamulah pemburu itu.

Kamis, 29 Mei 2008

MEREFLEKSIKAN HIDUP MELALUI PUISI

Oleh Tengsoe Tjahjono

/1/
Puisi. Kata ini seakan memiliki magnet yang amat besar daya sedotnya. Tumbuh beribu-ribu penyair di Indonesia ini buah dari kuasa magnet tersebut. Namun, Herry Lamongan bukanlah penyair yang menulis karena pesona magnet itu. Herry menulis karena ingin mencatat lintasan-lintasan peristiwa yang dijumpainya. Puisi adalah media yang paling pas baginya untuk mengungkapkan komentarnya atas peristiwa-peristiwa itu.

Begini katanya: ”siapa menyisir serabut syarafku, bersila dalam/ nadi kemudian larik temali menghela peristiwa/ ke dalam sajak.” Dengan gaya retorik ia bertanya. Walau sejatinya ia tahu bahwa ketimpangan sosial, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kemiskinan, dan sebagainya yang merebak dalam lingkaran hidupnya yang mengetuk kesadaran kritisnya hingga lahir puisi. Peristiwa tersebut menyentuh relung sanubarinya, mengetuk nuraninya, untuk berkata-kata.

Katanya lagi: ”entah syair apa, mengguncang benak memanjat/ tubuh antena hingga hembus angin di langit-langit/ melambungkan fantasimu ke katulistiwa/ tropika. Sajak meratap!” Lalu apa yang akan dilakukan penyair menatap fakta sosial semacam itu? Yang jelas nuraninya tergugah, terdorong untuk menuliskan komentar kritisnya atas kejadian atau fenomena-fenomena itu. Bagi Herry tampaknya puisi diharapkan memiliki daya gugah. Syukur-syukur bila bisa menjadi sarana penyadaran bagi siapa pun. Suara penyair mampu menembus antena kesadaran, dan berharap lahirnya aksi, bukan sekadar reaksi.

Dalam antologi puisi terbarunya yang berjudul ”Surat Hening” Herry menghadirkan 88 puisi yang ditulis dalam kurun waktu 1988-2007. Tema yang diangkat Herry digerakkan oleh kesadarannya dalam menangkap fenomena alam dan peristiwa-peristiwa sosial. Hanya saja dalam merasakan dampak dari fenomena dan peristiwa itu, Herry berusaha mengangkatnya kepada kesadaran religius: hanya kepada Tuhan segala hal itu dikembalikan dan dipersembahkan.

/2/
Sebagai warga bangsa Herry melihat bahwa negeri ini jauh dari kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, murah sandhang, murah pangan. Orang miskin lahir setiap hari oleh keterpurukan ekonomi. Bukan hanya itu. Akibat kemiskinan lingkungan alam menjadi rusak oleh manusia: entah karena kebutuhan, entah karena keserakahan. Yang jelas dampaknya akan sama yaitu rusaknya ekosistem.

Sampai-sampai menurut Herry ”pulau kelapa tidak lagi fasih merayu/ ia melepuh kini dalam hutan, maka/ kupanggil pulang/ bahasa manis gemah ripah loh jinawi/ yang hangus di sana.” Berikutnya ia pun bertutur ”gempa atau gerhana terus melenggang/ semacam sinyal semacam canda murung/ bagi segala sesuatu yang berulang kali dilacurkan.”

Puisi-puisi Herry memang terkesan lugas. Metafora-metafora yang dipilihnya pun gampang ditafsirkan. Hal tersebut menunjukkan betapa kuat niatan Herry untuk menyampaikan gagasan dan pesan kepada pembacanya. Boleh jadi, niatan tersebut dibangun oleh kesadaran bahwa puisi pun lahir demi maksud-maksud komunikasi. Kutipan di atas misalnya. Dalam larik-larik tersebut terbaca dengan tegas bagaimana lingkungan alam itu telah rusak dan bagaimana manusia tak tergugah rasa sadarnya dengan sinyal-sinyal alam melalui bencana (gempa, banjir, tanah longsor) yang muncul karena manusia mengeksploitasi sehabis-habisnya.

Dalam puisinya yang lain Herry menulis ”burung-burung pesiar/ melepas bulu-bulu atas musim/ dalam tatapan duka atau suka/ menimbuni bumi di sisa kicaunya.” Dalam larik ini terbaca betapa manusia jatuh ke dalam sikap tanpa harapan. Musim yang tidak bisa diduga membuat manusia tak mampu lagi menyusun langkah-langkah kerja dalam hidupnya. Burung-burung telah melepas bulu-bulunya. Ada dua hal yang bakal terjadi: tak dapat terbang dan dengan pasti kedinginan. Dua hal itu sangat mungkin akan menggiring burung-burung ke lorong kematian. Maka ”Tanah semakin gelap. Burung dan capung semakin/ limbung.” Ucap Herry dalam larik puisinya yang lain.

Lalu: ”misteri dan drama/ seperti sebuah minggu pagi/ sesaat anak-anak pergi bermain/ lantas dipanggil pulang menjelang siang”. Benarkah peristiwa atau fenomena-fenomena sumbang itu merupakan rahasia dan hanya sandiwara yang berlalu begitu cepat dan tiba-tiba harus usai? Hal itu sangat bergantung dari cara manusia menyikapi hal-hal tersebut. Pribadi-pribadi yang selalu optimistis menghadapi masa depan akan memposisikan hal-hal sumbang dalam hidup sehari sebagai kerikil atau bahkan badai yang dengan caranya akan mampu mendewasakan. Dalam konteks ini tampaknya Herry mengajak pembaca untuk selalu optimistis.

Karena: “Sebuah pinggir. Setiap pesisir menjadi pinggir/ bagi jiwa sungai dan sayap ombak airmatamu”. Di mata Herry setiap masalah tentu ada ujungnya. Tak ada masalah tak bertepi. Bagaimana wujud pinggir itu? Menurut Herry: “Kembali ke pinggir. Selalu pinggir/ Menanggalkan peristiwa dengan semacam sesal/ esok hari”. Penyesalan atau pertobatan. Itulah kunci. Kita diajak menyadari bahwa hal yang terjadi selama ini merupakan sebuah kesalahan dan diajak untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku. Bagus sekali jika ada tobat bersama, perubahan bersama.

/3/
Pertobatan sungguh diperlukan demi membangun habitus baru. Namun hal tersebut akan lebih berbuah bila Tuhan juga dihadirkan dalam membangun niat dan aksi itu. “Hanya Engkau/ selat antara hidup ke mati/... Mengapa saya mengungsi dari ancaman sesama/ Mengapa harus takut kepada selain Engkau”. Dalam kesadaran Herry, Tuhan adalah selat antara hidup ke mati. Untuk mencapai mati yang membahagiakan manusia harus melalui Tuhan. Melalui Tuhan berarti menjalankan kehendak Tuhan, menjauhi larangan-larangan-Nya. Jika hidup dimulai, dijalankan, dan ditujukan kepada Tuhan, orang seharusnya berada dalam posisi damai, tanpa harus takut terhadap datangnya ancaman. Maka, takut kepada Tuhan hendaknya menjadi sentral hidup manusia, bukan takut kepada sesama manusia.

Hanya saja sebagai makhluk dunia, manusia susah melepaskan diri dari jeratan dunia atau amuk materi. Menurut Herry: “kalau dalam hening musyahadah/ masih juga sekawan sampah dan bau cuaca menimbun/ ibukota tubuhku, bagaimana mungkin menyapaMU/ sambil berjingkrak lewat tolong bunyi-bunyian”. Acap kali komunikasi dan relasi manusia terganggu oleh aspek jasmaniah manusia. Bagaimana bisa relasi mesra manusia-Tuhan terbina manakala manusia masih mengikatkan diri dengan kodrat duniawinya. Hal ini yang acap kali memperburuk relasi manusia dengan Tuhan. Dalam konteks ini bisa terjadi manusia meragukan Kasih Tuhan, lebih parah lagi meninggalkan Tuhan.

Maka: “segala bunyi marilah berdansa dalam dadaku/ agar hening sujudku kian sempurna”. Nah, tampaknya Herry lebih berusaha memahami segala fakta sosial apa adanya. Kesedihan, duka, ketidakadilan, dan sebagainya dinikmatinya sebagai sebuah tarian hidup dengan aneka macam irama dan dinamika. Hanya dengan cara itu manusia mampu untuk selalu bersyukur dalam hidupnya: suka maupun duka. Tidak salah bila Herry pun berucap: “betapa kuingin senyap bersamamu di ketinggian ...” Ketika segala warna-warni kehidupan diterimanya dengan penuh syukur, manusia seakan senyap bersama Tuhan dalam suatu ruang tertentu. Ruang doa, ruang hati nurani.

/4/
Dalam puisinya “Surat Hening” Herry menulis: “kau paham, bagaimana di itu tempat/ gelap dan terang bersekutu dengan/ lentik kabut/ mengantar dingin, sentuhan teramat halus/ merambat ke sekujur perasaan.” Bagian ini terlihat sebagai tema sentral yang memayungi seluruh subtema puisi-puisi. Herry mengingatkan kita bahwa gelap dan terang, orang jahat dan orang baik, penipu dan penolong, dan sebagainya selalu ada dalam hidup kita. Persoalannya ialah bagaimana sikap kita. Bagaimana sikap kita menghadapi sikap baik dan sikap buruk yang semakin tidak tegas dan jelas batas-batasnya.

“Surat Hening” pada akhirnya bisa dihadirkan sebagai media refleksi. Kita diajak melihat siapa diri kita melalui puisi-puisi yang ditulis penyair Herry Lamongan. Dan dengan bahasa yang sederhana namun tetap menggelitik untuk terus dibaca, Herry mampu membangun kesadaran pembaca , misalnya tentang keluarga, lingkungan hidup, cinta, keluarga, dan sebagainya. Herry telah berhasil menyederhanakan puisi tanpa harus mengurangi kekuatan magis puisi itu sendiri.

Selasa, 20 Mei 2008

MENCIPTAKAN RUANG APRESIASI SASTRA

MENCIPTAKAN RUANG APRESIASI SASTRA
Tengsoe Tjahjono

/1/
Apresiasi sastra bukanlah terminologi yang asing bagi kita. Sejak di bangku pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi kata tersebut sering kita dengar atau baca. Apresiasi sastra adalah aktivitas menggulati dan bergulat dengan produk-produk kesusastraan. Dalam aktivitas ini terbangun relasi personal, komunikasi yang hidup, dialog timbal balik, antara pembaca dengan teks sastra.

Dengan demikian, teks sastra hendaknya dilihat sebagai entitas yang hidup, bukan barang mati. Teks sastra itu sebenarnya sebuah organisme yang hidup bukan sekadar onggokan unsur-unsur bisu dan mati. Memandang teks sastra semata-semata secara formal-struktural saja akan menjebak kita pada pemahaman dan perlakuan yang salah terhadap teks sastra.

Teks sastra yang berhasil akan mampu berkata-kata sendiri, tanpa dibantu oleh penciptanya. Teks sastra yang baik akan mampu mencubit hati pembaca, mengejek, menertawakan, menasihati, mencerahkan, mencerdaskan, atau mungkin dengan gayanya ia akan memusingkan, memuakkan, mengasingkan pembaca.

/2/
Berpikir formal-struktural selama ini yang dilakukan para pengajar dalam pembelajaran apresiasi sastra. Benarkah menulis puisi, cerpen, novel, atau lainnya harus berangkat dari tema tertentu? Jika kita membaca proses kreatif para sastrawan ternyata tidak selalu demikian. Benarkah untuk menulis novel seseorang harus membuat kerangka karangan, tokoh, alur, dan unsur-unsur lainnya lebih dahulu? Ternyata para sastrawan juga tidak selalu melakukan hal seperti itu.

Menulis teks sastra bisa berangkat dari mana saja. Bergantung rangsang kreatif apa yang membuat penulis terdorong untuk menulis. Karena itu betapa pentingnya melatih kepekaan menangkap peristiwa-peristiwa, fenomena-fenomena, materi-materi, yang layak disuarakan secara jujur. Bukan justru sibuk berlatih teknik formal-struktural: memilih kata, membangun irama, menyusun paragraf, mengembangkan alur, dan sebagainya.

/3/
Karena itu pembelajaran sastra mau tak mau memerlukan guru yang sungguh-sungguh mencintai kesusastraan. Guru yang mencintai kesusastraan adalah guru yang aktif bergulat dan menggulati karya sastra. Hal itu tak dapat dihindari karena mau tak mau sang guru harus mampu menjadi model bagi muridnya: model dalam menulis, membaca dan menafsirkan, membacakan dan membawakan/memperagakan.

Selama ini yang terjadi guru bahasa Indonesia adalah sekaligus guru sastra Indonesia. Padahal faktanya tidak semua guru bahasa Indonesia adalah pencinta sastra Indonesia. Fakta kontroversial ini berpuluh-puluh tahun dibiarkan sebagai sebuah kewajaran yang menyedihkan.

Karena itu demi peningkatan kualitas pembelajaran apresiasi sastra, guru bahasa Indonesia harus dibedakan dengan guru sastra Indonesia. Diakui atau tidak dua peran ini menyaratkan kompetensi yang berbeda.

/4/
Bagaimana resep menulis teks sastra? Jawabannya adalah tidak ada resepnya. Saya tidak yakin bahwa seseorang akan mampu menulis puisi dengan cara membaca Buku Teori Penulisan Puisi. Sungguh hal itu hanyalah omong kosong. Menulis puisi atau teks sastra tidak identik dengan proses penulisan surat lamaran pekerjaan, surat undangan, karya ilmiah, dan sebagainya. Karena, sekali lagi teks sastra adalah organisme hidup. Teks sastra itu mampu bergerak, melesat, mengapung, terbang, menggelitik, dan sebagainya.

Seorang anak kecil mampu berbahasa bukan karena ia belajar secara formal-gramatikal bahasa yang dipelajarinya. Ia belajar dengan cara mendengar, mendengar, mendengar, dan menirukan, menirukan, menirukan. Dalam konteks ini, seluruh aspek kejiwaan si anak sungguh bekerja secara aktif menyerap dan menyimpan segala yang didengarnya.

Untuk mampu menulis teks sastra seorang pemula harus masuk dalam aktivitas membaca, membaca, dan membaca, menulis, menulis, dan menulis. Membaca apa? Tentu membaca teks sastra dari para pengarang yang telah diakui kualitas ekspresinya. Budaya membaca benar-benar harus hidup dan dihidupi oleh setiap pribadi yang ingin memiliki pengalaman menulis.

Melalui membaca kita secara langsung akan berhadapan dengan fakta teks: dunia karya sastra yang imajinatif. Dari situ kita akan belajar: memilih tema, menyusun kalimat, membangun gaya ekspresi, dan sebagainya. Dan, masing-masing pengarang akan menghadirkan fakta teks yang khas dan unik, yang membedakannya dengan pengarang lain. Sapardi Djoko Damono akan berbeda dengan Afrizal Malna, Hamsad Rangkuti akan berbeda dengan Ahmad Tohari, Rendra berbeda dengan Emha Ainun Najib. Artinya, dalam proses awal pembelajaran menulis bisa jadi kita akan mencoba meniru gaya salah satu dari mereka. Meniru bukanlah hal yang tabu dalam langkah awal pembelajaran.

Kegiatan menulis pun hendaknya dilakukan dengan setia dan pantang menyerah. Tak ada kamus patah arang ketika karya sastra yang kita susun tidak direspons positif oleh pembaca. Bahkan, umpatan, caci maki, cibiran hendaknya dipahami sebagai ungkapan cinta orang lain yang nilainya melebihi sanjungan atau pujian.

/5/
Membaca mengandaikan kita memiliki buku-buku sastra yang memadai. Maka, peran perpustakaan menjadi sangat penting. Baik itu perpustakaan pribadi, sekolah, atau lembaga-lembaga. Tanpa sarana atau prasarana buku-buku, susah sekali kita berharap akan lahir pengarang-pengarang besar dari kaum muda kita. Ingat orang-orang seperti RA Kartini, Chairil Anwar, Umar Kayam, Rendra, Budi Darma, dan pengarang-pengarang besar lainnya adalah pembaca-pembaca yang baik.

Di samping itu perlu diciptakan media untuk mewadahi kreasi para pemula itu. Media itu bisa berupa majalah dinding, buku-buku antologi karya sastra mereka, pertemuan-pertemuan rutin untuk saling mendengarkan karya mereka satu dengan yang lain, ruang diskusi dengan mengundang sastrawan maupun para ahli di bidang-bidang tertentu, dan sebagainya.

/6/
Maka, pembelajaran apresiasi sastra sangat berarti manakala memakai Pendekatan Sanggar. Dalam sanggar setiap pribadi digerakkan oleh spirit berbuat, berkarya, menganalisis, membaca, menulis, berdiskusi, dan sebagainya dalam relasinya dengan pribadi lain.

Ketika pembelajaran apresiasi sastra hanya dilakukan dengan teknik ceramah, dan sastra didekati sebagai entitas formal-struktural, tidak akan lahir aktivitas bersastra dalam pembelajaran apresiasi sastra tersebut.

/7/
Di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS-Unesa kegiatan apresiasi sastra diarahkan kepada kegiatan resepsi, produksi, performasi, dan dokumentasi. Hanya saja pelaksanaannya terkendala oleh jumlah jam yang hanya 2 sks dengan cakupan materi yang begitu luas. Dengan pendekatan sanggar, hasil yang diperolehpun sudah memadai. Artinya, setelah lulus mata kuliah ini rata-rata mahasiswa sudah memiliki pengalaman bersastra yang meliputi menulis, menafsirkan, membawakan, serta mendokumentasi karya-karya sastra.

Yang saya impikan sebagai dosen sekarang ini adalah hadirnya sebuah studio teater di fakultas kami. Studio itu semata-mata untuk pentas studi. Tak perlu besar, cukup kapasitas 100 penonton. Dilengkapi dengan lampu, stage, keperluan panggung, kalau perlu kamera video yang sudah disiapkan permanen di tempatnya. Dengan demikian, pembelajaran apresiasi drama tidak terjebak pembelajaran teori drama, yang justru membuat mahasiswa berjarak dengan drama.

/8/
Belajar bersastra
Lahir dari ruang apresiasi yang benar
Dari pengalaman menggauli
Dari udara terbuka
Bukan dari berondongan teori
Yang menyesakkan dada dan
Jiwa!


Surabaya-Lidah, satu abad kebangkitan