Selasa, 10 Juni 2008

Cerpen Tengsoe Tjahjono

KUCING-KUCING ISTRIKU
Cerpen Tengsoe Tjahjono

Sebelum menikah dulu, aku paling nggak suka sama kucing. Juga Rumi, pacarku yang kini resmi jadi istriku. Mungkin kami boleh dibilang bukan penyayang binatang. Tapi bagaimana lagi, kami nggak suka bulunya, tahinya, baunya, bahkan meongnya.
Film kartun Garfield pun tak kami tonton, padahal kami penggemar kartun. Film Catwoman yang sempat meledak di kotaku tak kami lihat. Enyahlah kau kucing dari hadapanku! Tidak bakal ditemui gambar atau potret kucing di rumahku. Apalagi patung, pernik-pernik, gantungan kunci, mainan yang berbentuk kucing. Juga tak ada kucing yang berani melintas di halaman rumahku sebab istriku pasti melemparnya dengan apa saja yang ada di dekatnya: batu, asbak, vas bunga, kursi, bahkan jika mungkin almari.
Sampai pada suatu peristiwa. Saat itu kami pulang dari gereja, seekor kucing terkapar di jalanan. Tepatnya seekor anak kucing. Tampaknya baru saja sebuah kendaraan menubruknya. Kucing itu menjerit-njerit atau mengeong-ngeong kesakitan.
“Kasihan. Harus kita tolong, Pa.” Kata istriku. Tentu aku kaget bukan kepalang. Jelas itu bukan bahasa istriku untuk seekor kucing. Biasanya ia akan berucap: ‘Syukurin. Kenapa tak mampus sekalian.’
“Tapi ...,” jawabku tergagap.
“Kucing ini juga makhluk Tuhan, Pa. Tak bedanya dengan manusia,” kata istriku sambil memungut kucing itu, “Melihat tubuhnya yang terkapar aku jadi ingat Yesus ketika harus memanggul salibnya ke Golgota,” Wah, istriku sungguh keterlaluan. Kucing adalah kucing, tak ada hubungannya dengan Yesus. Kotbah Romo tadi mungkin kurang jelas. Mestinya harus ditegaskan: Menolong orang lapar, haus, kedinginan, dan sebagainya itu memang seperti menolong Yesus sendiri. Tetapi, tak termasuk menolong binatang. Lebih-lebih kucing.
Yang jelas sejak saat itu kucing itu menghuni rumahku. Bahkan, beranak pinak, menjadi selusin sekarang. Belum lagi masing-masing kucing membawa pacarnya ke rumah. Sampai-sampai aku tak memiliki tempat untuk berbaring karena di mana-mana ada kucing. Makan pagi aku harus duduk semeja dengan kucing, mandi harus rela antre dengan kucing, susu harus rela berbagi dengan kucing. Gilanya lagi kucing-kucing itu suka nonton acara berbau kucing di televisi. Akibatnya, aku tak lagi bisa menikmati lagu kroncong, film horor, atau kuis di televisi. Keparat!
Yang lebih menyiksa diriku adalah istriku sekarang suka banget memeluk kucing-kucing itu. Pernah kulihat Rumi berbincang-bincang dengan kucing-kucingnya ketika ia habis bertengkar dengan aku tentang penolakanku terhadap kehadiran kucing-kucing itu di rumah. Aku memprotes istriku karena aku sadar secara perlahan-lahan aku telah menjadi orang nomor ke-13. Yang nomor 1 s.d. 12 adalah kucing-kucing busuk itu. Aku merasa tersisih. Aku merasa tak lagi diperhatikan istri.
“Ini sangat tidak realistis!” aku meradang.
“Mana yang tidak realistis?!” Rumi menerjang.
“Mama lebih cinta kucing.”
“Papa ngawur. Mana mungkin aku lebih mencintai kucing daripada mencintai papa? Papa hanya membelokkan persoalan. Papa yang tidak mencintai aku. Buktinya papa tidak mencintai kucing-kucing aku! Apa sih sulitnya mau menerima kucing-kucing ini dengan apa adanya? Jangan didramatisir ah ....” Sergah Rumi. Selalu saja aku kalah berdebat dengan Rumi. Benarkah aku cemburu sama kucing-kucing itu? Ngeri sekali aku membayangkan bila kecemburuan itu sungguh tumbuh dan berpinak dalam jiwaku.
“Pak Lamda tidak tegas sih sama istri, “kata Bonar, anak buahku di kantor saat istirahat makan siang, “Perempuan kalau dikasih hati ya begitu jadinya. Bapak harus berani kasih ultimatum. Misalnya: pilih aku atau kucing-kucing itu? Saya yakin ibu akan ketakutan jika diancam seperti itu.” Bonar sangat yakin. Namun, aku tetap saja ragu-ragu. Rumi tak bakal takut oleh ancaman, karena dia tahu aku kelewat mencintainya.
“Masak suami dikalahkan hanya oleh kucing? Tidak sebanding ya kan?” timpal Arimbi, sekretarisku, dengan ringkik ketawanya. Aku benci mendengar ringkik itu, tapi sering aku tak berdaya saat Arimbi menggeleyot di pundak setiap kali ada kunjungan ke luar kota. “Mau nggak, ya, Ibu bersaing dengan aku?” kata Arimbi seakan-akan lebih pada dirinya sendiri. Walau ketajaman kata-kata itu sungguh menusuk jantung kesadaranku, tapi aku tidak mampu memprotes Arimbi. Aku pura-pura nggak mendengar. Kantin ini ber-AC, tapi aku sungguh gerah, kepala ini terasa mendidih.
Tentu saja aku mendidih. Bayangkan, pada suatu sore ketika aku pulang dari kantor tidak kujumpai potret keluarga kami di dinding ruang tamu. Sebagai gantinya adalah potret kucing-kucing sialan itu bersama istriku. Bahkan, potret pernikahan kami yang terletak di ruang tengah, telah berganti menjadi potret kucing yang diambil secara close-up. Potret-potret kami yang nampang di depan Gedung Putih, di Menara Pisa, di Air Terjun Niagara, di Taj Mahal, di Gereja St Petrus Vatikan, dan sebagainya lenyap nyaris tanpa bekas. Kucing ada di mana-mana. Rumi sungguh keterlaluan!
“Apa maksud Mama dengan semua ini?! Ini pembunuhan karakter namanya,” aku meradang. Rumi tidak terpengaruh dengan radanganku. Dia sibuk menyiapkan susu di beberapa mangkok untuk kucing-kucingnya.
“Penggantian foto-foto itu menandakan bahwa Mama telah melupakan keluarga kita, melupakan aku dan Bambi. Ada pembusukan di rumah kita ini. Ini bahaya. Aku harap mama duduk tenang, pikirkan ulang apa yang telah mama perbuat,” aku berusaha menjelaskan logikaku kepada Rumi.
“Papa ini suka sekali mendramatisir keadaan. Tidak ada pembunuhan karakter di keluarga kita ini. Lebih-lebih pembusukan. Potret-potret kucing itu saya pasang semata-mata karena aku menyukai nilai seninya. Angle yang tepat, grafis yang bagus, dan teknik pencetakan yang cermat. Papa ini kan seniman, masak nggak tahu mengenai estetika dan puitika. Papa ini memang aneh.” Kata Rumi dengan ketenangannya yang terukur. Justru dengan ketenangannya itu aku sering tidak berkutik di hadapan Rumi. Sambil sembunyi-sembunyi kucoba mengamati potret-potret kucing itu. Kini baru kusadari bahwa sebagai sebuah produk seni fotografi, potret-potret itu memang amat bagus. Bulu-bulu kucing itu tampak sangat halus. Detailnya terpancar sempurna. Ujung bulu-bulu itu terlihat seakan-akan mencuat ke luar kanvas. Bahkan, mata kucing yang potretnya dipasang di ruang tengah, abu-abu mengkilat memandangku dengan kemarahan yang penuh. Gila! Ini benar-benar produk kesenian yang agung.
“Pa!” Rumi tiba-tiba berteriak. Aku kaget bukan main. Jarang Rumi berteriak seperti itu, “Sudah mama bilang pagi tadi kan, Pa, bahwa ikan asin di almari makan itu khusus untuk kucing-kucing kita. Malah Papa ikut-ikutan memakannya. Papa sadar nggak, sih, bahwa ikan asin itu kupesan khusus dari Sumenep untuk kucing-kucing kita. Bukan untuk Papa. Mana sih rasa belas kasih Papa kepada kucing yang tak berdaya itu?!” Edan, untuk urusan ikan asin saja aku harus kalah dengan kucing.
Ini harus dihentikan!
“Papa jangan coba2 buang kucing ma2. Dampaknya amat buruk.” Bambi, anakku yang kuliah di kota provinsi mendadak SMS. Seakan tahu apa yang berkecamuk di benakku. Tapi, apa pedulinya. Dia enak aja ngomong, sedang aku harus bergelut dengan situasi runyam ini setiap hari. Saat istriku ada tugas kantor tiga hari ke Bali, kupanggil tukang becak langganan kami. Kucing-kucing itu aku masukkan ke dalam karung. Kulempar ke jok becak, kusuruh Kang Su membuangnya jauh-jauh. Tiga desa jaraknya dari rumah.
Malamnya aku sungguh dilahirkan kembali. Bebas dari bulu, bau, tahi, dan teror meong kucing-kucing itu. Aku nikmati sajian di teve sepuas-puasnya: lagu dangdut, film India, kuis, sepakbola, iklan, dan sebagainya. Aku mandi sepuas-puasnya, aku minum kopi sehangat-hangatnya. Hanya saja bayangan wajah istriku yang meledak saat tahu kucing-kucingnya raib amat mengganggu kenikmatanku.
Bilang apa ya padanya saat ia bertanya kemana kucing-kucingnya? Tak mungkin kukatakan bahwa ke-12 kucingnya digondol maling, ketabrak mobil, atau keracunan ikan asin. Jangkrik! Walaupun aku cerpenis, ternyata nggak mudah mengarang cerita untuk kasusku kali ini. Atau, mungkin kukatakan bahwa kucing-kucing itu sedih karena majikan putrinya nggak ada di rumah. Dengan kesedihan yang amat menghunjam hati, ke-12 kucing itu sepakat meninggalkan rumah.
Capek berpikir, aku mulai SMS. “Hai, sdg apa?” SMS-ku kepada Sindi. “Kangen nih.” SMS-ku kepada Juwi. “Msh cantik?” SMS-ku kepada Pingkan. Malam itu berpuluh-puluh SMS meradang melayang ke mana-mana. Kebiasaan lamaku tiba-tiba mengalir begitu rupa. Persis air waduk yang sekonyong jebol tanggulnya. Aku baru menyadari bahwa selama ini kucing-kucing itu telah membunuh kesenanganku. Aku baru juga menyadari bahwa ternyata istriku nggak sempat keluar rumah gara-gara kucing sialan itu. Itu artinya sudah lama aku nggak SMS kucing-kucingku (ha, namanya Sindi, Juwi, Pingkan, Sangkar, Bulan, dan entah siapa lagi. Sungguh beda dengan kucing-kucing istriku).
Malam itu kucing-kucingku datang, merangkak, melata, menggeleyot, mengeong, berbau parfum, memenuhi seluruh ruang kamarku. Yang jelas berbeda dengan kucing-kucing istriku. Aku pun telanjang di sofa di depan teve yang terus menyala. Gairah binatangku bangkit bersama serbuan kucing-kucingku dari layar HP yang terus terbuka. “Pingkan punya Kanda.” Atau “Juwi rindu Abang.” Atau “Sindi cinta Akang.” Atau .... Pingsan aku digerus malam.
Aku terbangun saat kudengar pintu gerbang seakan digedor-gedor orang. Kulirik di dinding jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Sungguh aku digerus pingsan. Tubuh koyak, malas tegak. Sedikit goyang kuseret tubuhku menuju jendela yang semalaman kubiarkan terbuka. Ya, Tuhan, benarkah yang kulihat kali ini? Kuusap mataku, lanskap di depanku tidak berubah. Kucing-kucing istriku berisik di luar pagar. Kaki-kaki mereka mencakar-cakar pintu gerbang. Matanya nyalang!
Gila, tidak hanya 12. Ada 12 lagi di belakangnya. Ada lagi 12. Terus 12. Berlusin-lusin kucing menyerbu rumahku. Ada yang menyusup lewat sela jeruji besi pagar. Ada yang melompat. Ada yang mengendap-endap mirip maling. Saat itu pula telepon rumah berteriak-teriak. “Mas, jangan lupa makan untuk kucing-kucingku, ya!” istriku memekik dari kejauhan. Bernada perintah. Apa yang dipikirkan tentang diriku? Rasanya nggak ada lagi. Kecuali kucing-kucingnya.

Awal tahun 2008

Senin, 09 Juni 2008

SAJAK-SAJAK TENGSOE TJAHJONO

SIAPA PUISI
tak ada persetubuhan di sini sebab hidup merumput
dari bumi. Lahir begitu rupa sesaat matahari menerobos sela-sela jemari
menghitung kalender yang melumer
oleh waktu

puisi jadilah zat yang biasa-biasa saja. Amat bersahaja
kerna lahir bukan oleh persetubuhan. Runtuh begitu saja
dari pepohonan hidupmu.

dan di setiap laci kusiapkan epitaf baginya

SIAPA PENYAIR
biarkan kereta ini terus berjalan. Bebukitan cahaya mencairkan kebekuan
yang mengabad dalam jiwa. Ada memang yang perlu dicatat bukan untuk
halaman-halaman koran atau majalah atau televisi
Cuma saksi dari daun-daun yang menguning oleh musim
atau magma yang meledak dalam jantungmu. Tak ada artinya pengeras
suara ketika telinga tak lagi mampu mengurai angin lalu! Kamulah pemburu itu.