Selasa, 20 Mei 2008

MENCIPTAKAN RUANG APRESIASI SASTRA

MENCIPTAKAN RUANG APRESIASI SASTRA
Tengsoe Tjahjono

/1/
Apresiasi sastra bukanlah terminologi yang asing bagi kita. Sejak di bangku pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi kata tersebut sering kita dengar atau baca. Apresiasi sastra adalah aktivitas menggulati dan bergulat dengan produk-produk kesusastraan. Dalam aktivitas ini terbangun relasi personal, komunikasi yang hidup, dialog timbal balik, antara pembaca dengan teks sastra.

Dengan demikian, teks sastra hendaknya dilihat sebagai entitas yang hidup, bukan barang mati. Teks sastra itu sebenarnya sebuah organisme yang hidup bukan sekadar onggokan unsur-unsur bisu dan mati. Memandang teks sastra semata-semata secara formal-struktural saja akan menjebak kita pada pemahaman dan perlakuan yang salah terhadap teks sastra.

Teks sastra yang berhasil akan mampu berkata-kata sendiri, tanpa dibantu oleh penciptanya. Teks sastra yang baik akan mampu mencubit hati pembaca, mengejek, menertawakan, menasihati, mencerahkan, mencerdaskan, atau mungkin dengan gayanya ia akan memusingkan, memuakkan, mengasingkan pembaca.

/2/
Berpikir formal-struktural selama ini yang dilakukan para pengajar dalam pembelajaran apresiasi sastra. Benarkah menulis puisi, cerpen, novel, atau lainnya harus berangkat dari tema tertentu? Jika kita membaca proses kreatif para sastrawan ternyata tidak selalu demikian. Benarkah untuk menulis novel seseorang harus membuat kerangka karangan, tokoh, alur, dan unsur-unsur lainnya lebih dahulu? Ternyata para sastrawan juga tidak selalu melakukan hal seperti itu.

Menulis teks sastra bisa berangkat dari mana saja. Bergantung rangsang kreatif apa yang membuat penulis terdorong untuk menulis. Karena itu betapa pentingnya melatih kepekaan menangkap peristiwa-peristiwa, fenomena-fenomena, materi-materi, yang layak disuarakan secara jujur. Bukan justru sibuk berlatih teknik formal-struktural: memilih kata, membangun irama, menyusun paragraf, mengembangkan alur, dan sebagainya.

/3/
Karena itu pembelajaran sastra mau tak mau memerlukan guru yang sungguh-sungguh mencintai kesusastraan. Guru yang mencintai kesusastraan adalah guru yang aktif bergulat dan menggulati karya sastra. Hal itu tak dapat dihindari karena mau tak mau sang guru harus mampu menjadi model bagi muridnya: model dalam menulis, membaca dan menafsirkan, membacakan dan membawakan/memperagakan.

Selama ini yang terjadi guru bahasa Indonesia adalah sekaligus guru sastra Indonesia. Padahal faktanya tidak semua guru bahasa Indonesia adalah pencinta sastra Indonesia. Fakta kontroversial ini berpuluh-puluh tahun dibiarkan sebagai sebuah kewajaran yang menyedihkan.

Karena itu demi peningkatan kualitas pembelajaran apresiasi sastra, guru bahasa Indonesia harus dibedakan dengan guru sastra Indonesia. Diakui atau tidak dua peran ini menyaratkan kompetensi yang berbeda.

/4/
Bagaimana resep menulis teks sastra? Jawabannya adalah tidak ada resepnya. Saya tidak yakin bahwa seseorang akan mampu menulis puisi dengan cara membaca Buku Teori Penulisan Puisi. Sungguh hal itu hanyalah omong kosong. Menulis puisi atau teks sastra tidak identik dengan proses penulisan surat lamaran pekerjaan, surat undangan, karya ilmiah, dan sebagainya. Karena, sekali lagi teks sastra adalah organisme hidup. Teks sastra itu mampu bergerak, melesat, mengapung, terbang, menggelitik, dan sebagainya.

Seorang anak kecil mampu berbahasa bukan karena ia belajar secara formal-gramatikal bahasa yang dipelajarinya. Ia belajar dengan cara mendengar, mendengar, mendengar, dan menirukan, menirukan, menirukan. Dalam konteks ini, seluruh aspek kejiwaan si anak sungguh bekerja secara aktif menyerap dan menyimpan segala yang didengarnya.

Untuk mampu menulis teks sastra seorang pemula harus masuk dalam aktivitas membaca, membaca, dan membaca, menulis, menulis, dan menulis. Membaca apa? Tentu membaca teks sastra dari para pengarang yang telah diakui kualitas ekspresinya. Budaya membaca benar-benar harus hidup dan dihidupi oleh setiap pribadi yang ingin memiliki pengalaman menulis.

Melalui membaca kita secara langsung akan berhadapan dengan fakta teks: dunia karya sastra yang imajinatif. Dari situ kita akan belajar: memilih tema, menyusun kalimat, membangun gaya ekspresi, dan sebagainya. Dan, masing-masing pengarang akan menghadirkan fakta teks yang khas dan unik, yang membedakannya dengan pengarang lain. Sapardi Djoko Damono akan berbeda dengan Afrizal Malna, Hamsad Rangkuti akan berbeda dengan Ahmad Tohari, Rendra berbeda dengan Emha Ainun Najib. Artinya, dalam proses awal pembelajaran menulis bisa jadi kita akan mencoba meniru gaya salah satu dari mereka. Meniru bukanlah hal yang tabu dalam langkah awal pembelajaran.

Kegiatan menulis pun hendaknya dilakukan dengan setia dan pantang menyerah. Tak ada kamus patah arang ketika karya sastra yang kita susun tidak direspons positif oleh pembaca. Bahkan, umpatan, caci maki, cibiran hendaknya dipahami sebagai ungkapan cinta orang lain yang nilainya melebihi sanjungan atau pujian.

/5/
Membaca mengandaikan kita memiliki buku-buku sastra yang memadai. Maka, peran perpustakaan menjadi sangat penting. Baik itu perpustakaan pribadi, sekolah, atau lembaga-lembaga. Tanpa sarana atau prasarana buku-buku, susah sekali kita berharap akan lahir pengarang-pengarang besar dari kaum muda kita. Ingat orang-orang seperti RA Kartini, Chairil Anwar, Umar Kayam, Rendra, Budi Darma, dan pengarang-pengarang besar lainnya adalah pembaca-pembaca yang baik.

Di samping itu perlu diciptakan media untuk mewadahi kreasi para pemula itu. Media itu bisa berupa majalah dinding, buku-buku antologi karya sastra mereka, pertemuan-pertemuan rutin untuk saling mendengarkan karya mereka satu dengan yang lain, ruang diskusi dengan mengundang sastrawan maupun para ahli di bidang-bidang tertentu, dan sebagainya.

/6/
Maka, pembelajaran apresiasi sastra sangat berarti manakala memakai Pendekatan Sanggar. Dalam sanggar setiap pribadi digerakkan oleh spirit berbuat, berkarya, menganalisis, membaca, menulis, berdiskusi, dan sebagainya dalam relasinya dengan pribadi lain.

Ketika pembelajaran apresiasi sastra hanya dilakukan dengan teknik ceramah, dan sastra didekati sebagai entitas formal-struktural, tidak akan lahir aktivitas bersastra dalam pembelajaran apresiasi sastra tersebut.

/7/
Di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS-Unesa kegiatan apresiasi sastra diarahkan kepada kegiatan resepsi, produksi, performasi, dan dokumentasi. Hanya saja pelaksanaannya terkendala oleh jumlah jam yang hanya 2 sks dengan cakupan materi yang begitu luas. Dengan pendekatan sanggar, hasil yang diperolehpun sudah memadai. Artinya, setelah lulus mata kuliah ini rata-rata mahasiswa sudah memiliki pengalaman bersastra yang meliputi menulis, menafsirkan, membawakan, serta mendokumentasi karya-karya sastra.

Yang saya impikan sebagai dosen sekarang ini adalah hadirnya sebuah studio teater di fakultas kami. Studio itu semata-mata untuk pentas studi. Tak perlu besar, cukup kapasitas 100 penonton. Dilengkapi dengan lampu, stage, keperluan panggung, kalau perlu kamera video yang sudah disiapkan permanen di tempatnya. Dengan demikian, pembelajaran apresiasi drama tidak terjebak pembelajaran teori drama, yang justru membuat mahasiswa berjarak dengan drama.

/8/
Belajar bersastra
Lahir dari ruang apresiasi yang benar
Dari pengalaman menggauli
Dari udara terbuka
Bukan dari berondongan teori
Yang menyesakkan dada dan
Jiwa!


Surabaya-Lidah, satu abad kebangkitan

5 komentar:

Dr. suyatno, M.Pd. mengatakan...

Blog bagus. Teruslah berkarya. Blog yang baik cirinya tiap waktu ada hal yang baru.

manuskripdody.blogspot.com mengatakan...

saya sepakat dengan Bapak bahwasanya d FBS Unesa, ruang apresiasi sastra sangat terbatas dan kurang memberi peluang bagi mahasiswa kita untuk berdiskusi lebih lanjut, katakanlah mengenai estetika atyau apapun yang biasa d lakukan oleh teman2 d Unair. maka dari itu diskusi d luar perkuliahan harus intens dilakukan agar mahasiswa kita tidak tertinggal perkembangan sastra di luar! saya kira begitu Pak, menurut Bapak sendiri?

aming aminoedhin mengatakan...

bagi saya, ruang apresiasi sastra, bisa di mana saja. termasuk bisa di ruang tunggu stasiun kereta, ruang tunggu terminal kota, atau alun-alun kota, serta ruang-ruang terbuka lainnya. persoalannya sekarang bagaimanakah kita bisa merangsang mereka yang suka sastra hadir dan ikut tampil dalam ruang apresiasi sastra itu.
bagi saya, yang penting bagaimana mengorganisir komunitas sastra tetap kontinyu bertemu, misalnya setiap 2 minggu. bertemu dan juga beradu kreativitas sastra dalam temusua tersebut.
dulu, sastra ketintang memang bikin sastra surabaya cemerlang. tapi, saat pindah ke lidah, sastranya kian lemah kian patah-patah. padahal di lidah masih ada: tengsoe, jack parmin, yatno, keliek eswe, sugeng adipitoyo, dan sederet empu lainnya.
ayo...ramikan lidah dengan sastra!


amingaminoedhin.blogspot.com
penyair

mashuri mengatakan...

salam jumpa, bapak dosen. masih suka menggoreng puisi? jangan lupa garam dan lomboknya! hehehe.

Unknown mengatakan...

aku penggemar dan rekanmu dulu, kita pernah bersama dalam satu puisi, kita mungkin bisa melupakan peristiwa itu tapi waktu tak bisa melupakannya dan selalu erat dalam ingatannya....hai kawan selamat berkarya, aku yakin dunia akan selalu menikmati karya-karya mu..