Kamis, 29 Mei 2008

MEREFLEKSIKAN HIDUP MELALUI PUISI

Oleh Tengsoe Tjahjono

/1/
Puisi. Kata ini seakan memiliki magnet yang amat besar daya sedotnya. Tumbuh beribu-ribu penyair di Indonesia ini buah dari kuasa magnet tersebut. Namun, Herry Lamongan bukanlah penyair yang menulis karena pesona magnet itu. Herry menulis karena ingin mencatat lintasan-lintasan peristiwa yang dijumpainya. Puisi adalah media yang paling pas baginya untuk mengungkapkan komentarnya atas peristiwa-peristiwa itu.

Begini katanya: ”siapa menyisir serabut syarafku, bersila dalam/ nadi kemudian larik temali menghela peristiwa/ ke dalam sajak.” Dengan gaya retorik ia bertanya. Walau sejatinya ia tahu bahwa ketimpangan sosial, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kemiskinan, dan sebagainya yang merebak dalam lingkaran hidupnya yang mengetuk kesadaran kritisnya hingga lahir puisi. Peristiwa tersebut menyentuh relung sanubarinya, mengetuk nuraninya, untuk berkata-kata.

Katanya lagi: ”entah syair apa, mengguncang benak memanjat/ tubuh antena hingga hembus angin di langit-langit/ melambungkan fantasimu ke katulistiwa/ tropika. Sajak meratap!” Lalu apa yang akan dilakukan penyair menatap fakta sosial semacam itu? Yang jelas nuraninya tergugah, terdorong untuk menuliskan komentar kritisnya atas kejadian atau fenomena-fenomena itu. Bagi Herry tampaknya puisi diharapkan memiliki daya gugah. Syukur-syukur bila bisa menjadi sarana penyadaran bagi siapa pun. Suara penyair mampu menembus antena kesadaran, dan berharap lahirnya aksi, bukan sekadar reaksi.

Dalam antologi puisi terbarunya yang berjudul ”Surat Hening” Herry menghadirkan 88 puisi yang ditulis dalam kurun waktu 1988-2007. Tema yang diangkat Herry digerakkan oleh kesadarannya dalam menangkap fenomena alam dan peristiwa-peristiwa sosial. Hanya saja dalam merasakan dampak dari fenomena dan peristiwa itu, Herry berusaha mengangkatnya kepada kesadaran religius: hanya kepada Tuhan segala hal itu dikembalikan dan dipersembahkan.

/2/
Sebagai warga bangsa Herry melihat bahwa negeri ini jauh dari kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, murah sandhang, murah pangan. Orang miskin lahir setiap hari oleh keterpurukan ekonomi. Bukan hanya itu. Akibat kemiskinan lingkungan alam menjadi rusak oleh manusia: entah karena kebutuhan, entah karena keserakahan. Yang jelas dampaknya akan sama yaitu rusaknya ekosistem.

Sampai-sampai menurut Herry ”pulau kelapa tidak lagi fasih merayu/ ia melepuh kini dalam hutan, maka/ kupanggil pulang/ bahasa manis gemah ripah loh jinawi/ yang hangus di sana.” Berikutnya ia pun bertutur ”gempa atau gerhana terus melenggang/ semacam sinyal semacam canda murung/ bagi segala sesuatu yang berulang kali dilacurkan.”

Puisi-puisi Herry memang terkesan lugas. Metafora-metafora yang dipilihnya pun gampang ditafsirkan. Hal tersebut menunjukkan betapa kuat niatan Herry untuk menyampaikan gagasan dan pesan kepada pembacanya. Boleh jadi, niatan tersebut dibangun oleh kesadaran bahwa puisi pun lahir demi maksud-maksud komunikasi. Kutipan di atas misalnya. Dalam larik-larik tersebut terbaca dengan tegas bagaimana lingkungan alam itu telah rusak dan bagaimana manusia tak tergugah rasa sadarnya dengan sinyal-sinyal alam melalui bencana (gempa, banjir, tanah longsor) yang muncul karena manusia mengeksploitasi sehabis-habisnya.

Dalam puisinya yang lain Herry menulis ”burung-burung pesiar/ melepas bulu-bulu atas musim/ dalam tatapan duka atau suka/ menimbuni bumi di sisa kicaunya.” Dalam larik ini terbaca betapa manusia jatuh ke dalam sikap tanpa harapan. Musim yang tidak bisa diduga membuat manusia tak mampu lagi menyusun langkah-langkah kerja dalam hidupnya. Burung-burung telah melepas bulu-bulunya. Ada dua hal yang bakal terjadi: tak dapat terbang dan dengan pasti kedinginan. Dua hal itu sangat mungkin akan menggiring burung-burung ke lorong kematian. Maka ”Tanah semakin gelap. Burung dan capung semakin/ limbung.” Ucap Herry dalam larik puisinya yang lain.

Lalu: ”misteri dan drama/ seperti sebuah minggu pagi/ sesaat anak-anak pergi bermain/ lantas dipanggil pulang menjelang siang”. Benarkah peristiwa atau fenomena-fenomena sumbang itu merupakan rahasia dan hanya sandiwara yang berlalu begitu cepat dan tiba-tiba harus usai? Hal itu sangat bergantung dari cara manusia menyikapi hal-hal tersebut. Pribadi-pribadi yang selalu optimistis menghadapi masa depan akan memposisikan hal-hal sumbang dalam hidup sehari sebagai kerikil atau bahkan badai yang dengan caranya akan mampu mendewasakan. Dalam konteks ini tampaknya Herry mengajak pembaca untuk selalu optimistis.

Karena: “Sebuah pinggir. Setiap pesisir menjadi pinggir/ bagi jiwa sungai dan sayap ombak airmatamu”. Di mata Herry setiap masalah tentu ada ujungnya. Tak ada masalah tak bertepi. Bagaimana wujud pinggir itu? Menurut Herry: “Kembali ke pinggir. Selalu pinggir/ Menanggalkan peristiwa dengan semacam sesal/ esok hari”. Penyesalan atau pertobatan. Itulah kunci. Kita diajak menyadari bahwa hal yang terjadi selama ini merupakan sebuah kesalahan dan diajak untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku. Bagus sekali jika ada tobat bersama, perubahan bersama.

/3/
Pertobatan sungguh diperlukan demi membangun habitus baru. Namun hal tersebut akan lebih berbuah bila Tuhan juga dihadirkan dalam membangun niat dan aksi itu. “Hanya Engkau/ selat antara hidup ke mati/... Mengapa saya mengungsi dari ancaman sesama/ Mengapa harus takut kepada selain Engkau”. Dalam kesadaran Herry, Tuhan adalah selat antara hidup ke mati. Untuk mencapai mati yang membahagiakan manusia harus melalui Tuhan. Melalui Tuhan berarti menjalankan kehendak Tuhan, menjauhi larangan-larangan-Nya. Jika hidup dimulai, dijalankan, dan ditujukan kepada Tuhan, orang seharusnya berada dalam posisi damai, tanpa harus takut terhadap datangnya ancaman. Maka, takut kepada Tuhan hendaknya menjadi sentral hidup manusia, bukan takut kepada sesama manusia.

Hanya saja sebagai makhluk dunia, manusia susah melepaskan diri dari jeratan dunia atau amuk materi. Menurut Herry: “kalau dalam hening musyahadah/ masih juga sekawan sampah dan bau cuaca menimbun/ ibukota tubuhku, bagaimana mungkin menyapaMU/ sambil berjingkrak lewat tolong bunyi-bunyian”. Acap kali komunikasi dan relasi manusia terganggu oleh aspek jasmaniah manusia. Bagaimana bisa relasi mesra manusia-Tuhan terbina manakala manusia masih mengikatkan diri dengan kodrat duniawinya. Hal ini yang acap kali memperburuk relasi manusia dengan Tuhan. Dalam konteks ini bisa terjadi manusia meragukan Kasih Tuhan, lebih parah lagi meninggalkan Tuhan.

Maka: “segala bunyi marilah berdansa dalam dadaku/ agar hening sujudku kian sempurna”. Nah, tampaknya Herry lebih berusaha memahami segala fakta sosial apa adanya. Kesedihan, duka, ketidakadilan, dan sebagainya dinikmatinya sebagai sebuah tarian hidup dengan aneka macam irama dan dinamika. Hanya dengan cara itu manusia mampu untuk selalu bersyukur dalam hidupnya: suka maupun duka. Tidak salah bila Herry pun berucap: “betapa kuingin senyap bersamamu di ketinggian ...” Ketika segala warna-warni kehidupan diterimanya dengan penuh syukur, manusia seakan senyap bersama Tuhan dalam suatu ruang tertentu. Ruang doa, ruang hati nurani.

/4/
Dalam puisinya “Surat Hening” Herry menulis: “kau paham, bagaimana di itu tempat/ gelap dan terang bersekutu dengan/ lentik kabut/ mengantar dingin, sentuhan teramat halus/ merambat ke sekujur perasaan.” Bagian ini terlihat sebagai tema sentral yang memayungi seluruh subtema puisi-puisi. Herry mengingatkan kita bahwa gelap dan terang, orang jahat dan orang baik, penipu dan penolong, dan sebagainya selalu ada dalam hidup kita. Persoalannya ialah bagaimana sikap kita. Bagaimana sikap kita menghadapi sikap baik dan sikap buruk yang semakin tidak tegas dan jelas batas-batasnya.

“Surat Hening” pada akhirnya bisa dihadirkan sebagai media refleksi. Kita diajak melihat siapa diri kita melalui puisi-puisi yang ditulis penyair Herry Lamongan. Dan dengan bahasa yang sederhana namun tetap menggelitik untuk terus dibaca, Herry mampu membangun kesadaran pembaca , misalnya tentang keluarga, lingkungan hidup, cinta, keluarga, dan sebagainya. Herry telah berhasil menyederhanakan puisi tanpa harus mengurangi kekuatan magis puisi itu sendiri.

Tidak ada komentar: